Jakarta, JaringBisnis. Mahasiswa dari berbagai kampus bersuara, kali ini bukan lagi isu politik yang mereka kumandangkan, melainkan biaya pendidikan untuk strata S1 dan selanjutnya yang semakin mahal. Apakah slogan Indonesia emas 2045 akan berubah menjadi Indonesia cemas 2045?
Kenaikan biaya masuk kuliah, uang kuliah tunggal (UKT), akan sangat dirasakan orangtua di tahun ajaran baru 2024-2025 ini. Khususnya, mereka yang berada dalam standar ekonomi menengah ke bawah. Jika dulu perguruan tinggi negeri menjadi salah satu harapan -selain perguruan tinggi kedinasan, kini perguruan tinggi negeri mematok UKT maupun biaya masuk kuliah hingga ratusan juta.
Sontak, semua bersuara. Mahasiswa berdemo, menyuarakan pendapat. Komisi X DPR, atas desakan masyarakat, membentuk Panja Biaya Pendidikan untuk secara khusus membahas masalah ini. “Anggaran pendidikan setiap tahun relatif cukup besar dengan adanya mandatory spending 20% dari APBN. Pada 2024 saja, ada alokasi APBN sebesar Rp665 triliun untuk anggaran pendidikan,” kata Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda.
Masalahnya, hasil kerja Panja ini akan menjadi acuan RAPBN di tahun 2025, itu pun jika ada solusi yang memberi secercah harapan bagi orangtua dan calon mahasiswa baru di tahun tersebut. Untuk calon mahasiswa baru tahun ini, ya silakan menelan ludah.
Yang menjadi catatan khusus adalah pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Ditjen Diktiristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie. Ia mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier, tidak masuk ke dalam program wajib belajar selama 12 tahun.
“Kita bisa lihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education, jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini bersifat pilihan,” katanya.
Lebih lanjut, Tjitjik menjelaskan bahwa pemerintah saat ini fokus untuk pendanaan pendidikan wajib 12 tahun, dan perguruan tinggi tidak masuk ke dalam prioritas. Tapi bukankah hal ini sudah berjalan bertahun-tahun? Dan mengapa baru tahun ini terjadi kenaikan UKT gila-gilaan? Dan, apakah sudah sebegitu putus asanya Tjitjik sehingga bak kehilangan empati pada suara masyarakat?
Apakah Tjitjik juga melihat perbandingan angka partisipasi kasar kuliah di Indonesia yang di angka 32,45% (data BPS 2023), dengan negara tetangga seperti Malaysia 43%, Thailand 49%, dan Singapura 91%?
Konon, Semua Karena Inflasi
Melemahnya nilai tukar rupiah memang menjadi salah satu pemicu naiknya biaya kuliah. Barangkali, imbas pandemi covid-19, perang Ukraina – Rusia, ketegangan di Timur Tengah memengaruhi ekonomi dunia, termasuk di antaranya Indonesia. Hal yang paling terasa adalah menurunnya jumlah mahasiswa yang mendaftar ke jenjang perguruan tinggi dalam 3-4 tahun terakhir.
Imbas akibat sedikitnya mahasiswa yang mendaftar masuk ke perguruan tinggi membuat biaya operasional kampus menjadi sulit. Apalagi jika perguruan tinggi tersebut tidak memiliki dana cadangan yang memadai. Ya, ini seperti pertanyaan duluan mana ayam atau telur, maka masalahnya akan berputar-putar di situ-situ saja, karena jika perguruan tinggi menaikkan UKT dan biaya masuk, tentu akan berimbas pada semakin sedikitnya calon mahasiswa baru -juga karena alasan yang sama, biaya.
Di sisi lain, perguruan tinggi, baik swasta apalagi yang negeri, memiliki tuntutan luar biasa dalam meningkatkan kualitas pendidikannya, karena hal ini tentu saja berimbas pada penilaian/akreditasi yang ditetapkan negara. Belum lagi tuntutan untuk memiliki laboratorium yang termutakhir, sarana olahraga, konseling karir, akses perpustakaan digital dan internet cepat, dan sebagainya. Masa sih, perguruan tinggi tidak bisa berlari dengan kecepatan jaman? Nah, defisit pembiayaan dan tuntutan ini itulah -dengan itung dagang ala penjual kaki lima- hanya bisa ditutupi dengan meningkatkan biaya masuk dan UKT pada para mahasiswanya.
Jelas, negara harus turun tangan secepatnya, karena masalah ini harus segera diatasi dengan regulasi yang memiliki keberpihakan pada semua. Negara harus hadir. Menteri Pendididikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, B.A, M.B.A., harus menjadikan masalah ini sebagai salah satu prioritas utama. Tentu saja, harus duduk bersama anggota DPR RI agar bisa melakukan pemetaan masalah secara holistik sehingga memiliki solusi yang komprehensif.
Keinginan Kuliah Tinggi, Ketakutan Drop Out Juga Tinggi
Dalam beberapa kesempatan, penulis bertanya pada beberapa lulusan SMU sederajat terkait keinginannya melanjutkan pendidikan. Jawabannya ternyata nyaris seragam: Ingin kuliah.
Tapi, kembali masalahnya adalah biaya. Sebagian besar siswa akan mati-matian mengejar nilai rapor tertinggi dari kelas 1-3 agar bisa lolos Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) yang diselenggarakan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ini adalah jalur undangan. Harapan kedua digantungkan pada UTBK atau Ujian Tulis Berbasis Komputer. Hanya pada dua jalur ini, maka biaya UKT bisa jauh lebih murah. Ini pun, pada beberapa PTN masih melihat gaji orangtua.
Seleksi selanjutnya adalah Jalur Prestasi dan Jalur Mandiri. Biasanya, untuk kedua jalur ini mahasiswa akan dihadapkan dengan biaya masuk dan biaya kuliah yang tinggi. Yang ‘mengagumkan’ biaya masuk dan UKT di PTN kerap jauh melampaui biaya masuk dan UKT di perguruan tinggi swasta -tentu ini juga meilhat akreditasi perguruan tinggi swasta yang dimaksud.
Pada akhirnya, dengan tingginya biaya kuliah, siswa lulusan SMU sederajat dari golongan menengah bawah memilih untuk tahu diri. Mereka akan melihat kemampuan orangtuanya. Dan orangtua, barangkali dengan tetap menyisakan semangat agar anak-anaknya bisa bernasib lebih baik, menjual ini dan itu sekadar agar anaknya bisa kuliah. Atau, berutang. Sebagian lagi, tahu diri dan menyiapkan kalimat-kalimat penghibur pada anak-anaknya bahwa kuliah bukan satu-satunya jalan untuk sukses.
“Ketimbang drop out di tengah jalan,” tutur seorang kawan yang penghasilannya tak menentu setelah perusahaan tempatnya bekerja tumbang akibat pandemi covid-19 lalu.
Beginilah potret dunia pendidikan Indonesia saat ini. Hanya sedikit perguruan tinggi negeri maupun swasta yang memiliki keberpihakan pada calon mahasiswa baru. Umumnya, karena kampus-kampus tersebut memiliki warisan semangat agar masa depan Indonesia tetap menyala. Agar orang miskin punya hak untuk bisa kuliah. Kampus-kampus yang sejatinya punya masalah defisit pembiayaan yang sama, tapi memilih untuk meneruskan semangat Indonesia Emas 2045, bukan Indonesia cemas 2045.
– – – – –
(Tulisan ini adalah opini)
Penulis: Gilang Gumilang, S.Sos., M.I.Kom
Editor In Chief JaringBisnis.com
Dosen Komunikasi IISIP Jakarta (Kampus yang tetap mempertahankan biaya masuk dan UKT terjangkau bagi para mahasiswanya)