Jakarta, JaringBisnis. Sewaktu SD, saya pernah membaca sebuah buku berjudul -kalau tak salah- Perang Kota. Lupa persisnya, tapi masih ingat alurnya.
Kisahnya kira-kira seperti ini:
Di masa Agresi Militer Belanda ke-dua, maka segala daya upaya dilakukan rakyat Indonesia untuk berjibaku bersama TNI melawan agresor Belanda.
Di awali Belanda yang menyerang Lapangan Udara Maguwo Yogyakarta, pagi hari, 19 Desember 1948; membunuh 128 prajurit TNI dari 150 prajurit yang menjaga Maguwo, maka selanjutnya Belanda masuk kota, menangkapi pemimpin Republik saat itu: Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan lainnya.
Belanda, secara pongah menyatakan tidak terikat lagi dengan Perjanjian Renville -yang sejatinya, perjanjian ini sebetulnya merugikan Republik Indonesia karena wilayah kekuasaan RI hanya di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.
Sang Jenderal Besar Soedirman memilih untuk melakukan perang gerilya. Melawan. Meski sang jenderal dalam keadaan sakit parah, kerap ditandu, ia bergerak terus hingga 1000 kilometer di area Jawa Tengah – Jawa Timur selama sembilan bulan. Hebatnya, berulangkali nyaris ditangkap namun selalu lolos. Ini sangat mengagumkan -jika tidak bisa dibilang ajaib.
Kolonel AH Nasution yang saat itu menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun Pertahanan Rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat Nomor 1, di mana salah satu isinya adalah pasukan-pasukan TNI melakukan wingate, atau menyusup di belakang garis pertahanan musuh, kemudian membentuk kantong-kantong gerilya sehingga Pulau Jawa menjadi medan gerilya yang luas.
Sementara pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dan melakukan wingate di area Jawa Barat, di mana mereka harus melakukan Long March Siliwangi yang sangat epic, naik turun gunung, menyeberang sungai dan ditembaki Belanda, banyak yang wafat. Tapi, di Jawa Barat, Siliwangi yang baru saja tiba malah harus bertempur dengan Darul Islam – Tentara Islam Indonesia (DI-TII) pimpinan Kartosoewirjo, yang kelak menjadi cikal bakal Negara Islam Indonesia (NII) yang bikin heboh saat ini, dan cikal bakal gerakan Islam radikal yang dipimpin Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar.
Oh ya, terkait perjuangan epic Long March Siliwangi, ada dalam salah satu tulisan pada buku ‘Rasa Sayange‘ karya Prof. Dr. Nugroho Notosoesanto, salah satu buku yang sangat saya sukai dan saya baca di Sekolah Dasar.
Bagaimana dengan rakyat?
Pertahanan Rakyat Totaliter kemudian diimplikasikan dalam bentuk gerilya kota atau perang kota.
Mereka tentu tidak punya senjata.
Yang mereka punya hanyalah semangat dan cita-cita Indonesia lebih baik.
Jadi, ketika TNI melakukan siasat bumi hangus, rakyat melakukan grafiti -tulisan-tulisan di dinding/tembok bangunan, atau menempel selebaran. Biasanya yang tertulis:
Merdeka atoe Mati
Freedom is the Glory of Any Nation: Indonesia for Indonesians
Merdeka!
Hands off Indonesia
Sekali Merdeka Tetap Merdeka
Djika Belanda Datang Ke Sini, Maka Hantjurlah Pabrik Ini
Siap-siap Boemi Hangus
Hingga umpatan-umpatan lainnya.
Tujuannya:
Melemahkan mental pasukan agresor dan sebaliknya, menambah semangat berjuang sekaligus memastikan bahwa rakyat bersama TNI.
Betapa hebatnya!
Hari ini, membaca grafiti bertulis: ‘Sambo Gak Jadi Mati’ di salah satu tempat belanja, mata saya berair.
Kesadaran merambat naik dalam otak bahwa rakyat sedang menyerukan perjuangannya, menolak ketidakadilan versi mereka.
Cita-cita mereka di tahun 1948 dan 2024 ini sejatinya sama: Ingin Indonesia lebih baik.
Sialnya…
Jika dulu kita melawan penjajah di mana jenderal-jenderal kita berjuang mati-matian, dalam kondisi sakit fisik luar biasa (paru-paru Jenderal Soedirman tinggal satu yang masih berfungsi), memberi semangat dalam kondisi kekurangan -bahkan tak bisa makan, KINI yang kita hadapi barangkali oknum jenderal dan oknum pejabat korup yang sakit -bukan fisik, tapi mental dan otaknya.
Grafiti simbol perjuangan rakyat.
Di tempat belanja ini, kita dipaksa menerima kenyataan pahit, bahwa penjajahan dalam bentuknya yang lain, MASIH ADA. (JB/02/GlG)