DISKURSUS ATLANTIS DI NUSANTARA, PERADABAN YANG HANCUR BERULANG KALI

(Foto : GlG)

Jakarta, JaringBisnis. Sebuah diskursus bertema Atlantis Nusantara, digelar di auditorium Ki Narto Sabdho, Jaya Suprana Institute, Jumat (30/8/2024). Hadir sebagai pembicara utama pakar geologi Indonesia Prof. Dr. Danny Hilman Natawidjaja, M.Sc., ditemani oleh Prof. Dr (HC) Jaya Suprana.

Dalam pemaparannya, Prof. Danny memaparkan beberapa fakta, seperti hasil peninggalan sejarah dan juga prasejarah (seperti artefak), hasil uji radiocarbon dating yang dapat memperkirakan usia obyek yang mengandung materi organik, 3D Seismik yang menunjang penelitian secara geologi, keterkaitan dengan kejadian katastropik atau bencana dalam skala besar, hingga perbandingan penemuan materi prasejarah di negara-negara lain.

Dari banyaknya fakta maupun informasi awal, menurut Prof. Danny, besar kemungkinan bahwa sejak ribuan tahun sebelum masehi, telah ada peradaban di wilayah nusantara atau kerap disebut sebagai peradaban Sundaland. “Apakah namanya Atlantis, bisa iya atau bukan, tapi fakta dan data memang ada peradaban yang punah di wilayah ini,” kata Prof. Danny.

Sundaland merujuk pada benua di Asia Tenggara yang ada pada zaman es terakhir ketika permukaan laut jauh lebih rendah. Benua Sundaland tenggelam seiring berakhirnya zaman es dan permukaan air laut naik 150 meter, menyisakan wilayah yang kini menjadi Indonesia, Singapura, Malaysia saja.

“Kekayaan alam di Sundaland sangat kaya, namun karena berada di ring of fire sering terjadi bencana besar atau katastropik di wilayah ini. Jadi, Sundaland bisa mendukung sebuah peradaban, tapi juga menghancurkannya dalam satu waktu,” ujar Prof. Danny.

Senada dengan Prof Danny, geolog Prof. Dr. Ir. Andang Bachtiar, M.Sc., yang turut hadir mengatakan bahwa hasil penelitian di manapun menyebutkan bahwa peradaban dunia hancur, kemudian muncul, hancur, muncul lagi, dan begitu terus berulang. “Jangankan Sundaland, kita lihat peninggalan sejarah saat ini -Borobudur misalnya? Apa benar ia dibangun dan selesai di abad ke-8 oleh wangsa Syailendra, atau telah ada sebelumnya dan yang dilakukan adalah renovasi?” tanya Prof. Andang.

Ia kemudian merujuk penelitian Dr. Ir. Helmy Murwanto, M.Si., yang menyebutkan bahwa Borobudur dibangun di tengah danau purba dan melambangkan bunga teratai. Hal itu diketahui dari jejak endapan dan hasil interpretasi citra satelit. Danau seluas 8 kilometer persegi ini, yang ada di jaman plestosin akhir atau 10 ribu tahun lalu, kemudian hilang akibat aktivitas manusia, kejadian alam termasuk vulkanik, tektonik, gerakan massa tanah, dan batuan.

“Bicara letusan Gunung Merapi sekitar tahun 1000, yang index letusannya mencapai 10, maka hilang sudah danau tersebut, seiring hilangnya orang-orang pintar yang ada di Borobudur, para pakar bangunan di bawah pimpinan Gunadarma,” kata Prof. Andang.

“Katastropik memang menghancurkan kebudayaan dan juga teknologi -termasuk orang-orang pintar di jaman tersebut,” ulas Prof. Danny. (JB/02/GlG)