FKM – UI DORONG SINERGI NASIONAL UNTUK TRANSFORMASI LAYANAN KESEHATAN PRIMER

Foto Dok. FKM - UI

Jakarta, JaringBisnis. Capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesehatan yang belum mencapai target 100% (data tahun 2023) menjadi isu yang mengemuka pada diskusi publik bertema “Membangun Sinergi Nasional dalam Mewujudkan Akselerasi Transformasi Kesehatan Layanan Primer di Era Transisi Pemerintahan”, yang diselenggarakan Departemen Kajian Strategis BEM IM FKM UI 2024, Rabu (18/10/2024).

Diskusi publik ini menyimpulkan bahwa SPM bisa dicapai manakala Integrasi Layanan Primer (ILP) diperkuat. “Ada enam fokus utama yang mesti ditingkatkan yaitu transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi SDM kesehatan, dan transformasi teknologi kesehatan,” kata Andri Mursita, S.K.M., M. Epid, Fungsional Administrator Kesehatan Direktorat Tata Kelola Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan – Republik Indonesia.

Lebih jauh, Andri mengatakan bahwa penguatan struktur layanan kesehatan harus dimulai dari tingkat kecamatan (puskesmas), desa/kelurahan (polindes, poskesri, pustu, dan poskesdes), dusun/RT/RW berupa UKBM (posyandu, posyandu lansia, posbindu PTM), hingga seluruh keluarga dan masyarakat Indonesia melalui kunjungan rumah oleh kader dan tenaga kesehatan.

“Intinya, mempermudah akses masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas,” kata Andri.

Sementara itu, Nidya Eka Putri, Project Leader PN PRIMA CISDI mengatakan bahwa tantangan pertama dalam menerapkan ILP adalah jumlah dan distribusi tenaga kesehatan di Indonesia yang belum merata, terutama di daerah-daerah terpencil dan pedalaman. “Meski Program Nusantara Sehat telah diluncurkan dengan mengirimkan tenaga kesehatan ke daerah-daerah yang kekurangan sumber daya manusia, namun hasilnya masih belum optimal,” katanya.

Menurut Nidya, hal ini terutama karena terjadinya ketimpangan distribusi regional, keterbatasan tenaga spesialis dan subspesialis, kurangnya insentif bagi tenaga kesehatan, infrastruktur penunjang, dan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran.

Di sisi lain, lanjut Nidya, ada juga masalah terkait keterlibatan masyarakat. Misalnya keengganan masyarakat untuk mengakses puskesmas atau mencari pertolongan ke tenaga kesehatan formal (bidan desa, dokter, dan sebagainya), dengan berbagai alasan mulai dari perceived quality yang tidak positif terhadap layanan kesehatan formal, masalah jarak dan geografis yang sulit dijangkau, serta kurangnya motivasi dari lingkungan sekitar.

Karena itu, Dr. Puput Oktamianti, S.K.M., M.M, akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat – Universitas Indonesia memaparkan beberapa solusi. Misalnya, regulasi yang baik dan tepat sasaran, peningkatan koordinasi, serta pemetaan ulang wilayah pelayanan yang jelas. “Dan harus ada standardisasi, agar layanan yang diberikan bersifat konsisten, berkualitas, serta merata di seluruh wilayah,” kata Dr. Puput.

Dr. Puput juga mendorong adanya upaya promotif kesehatan. Salah satunya dengan penguatan kader sebagai agen dan aktivis pemberdayaan kesehatan masyarakat di lingkungannya masing-masing. “Para kader ini diharapkan mampu menjadi penggerak utama dalam menyampaikan informasi kesehatan, mendorong perubahan perilaku masyarakat, serta meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya gaya hidup sehat,” katanya.

Diskusi publik yang dimoderatori Yaneva Azahra Rahmatunisa, Koordinator Bidang Sosial dan Politik BEM IM FKM UI 2024, merupakan public hearing yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan pemahaman mendalam terkait isu transformasi kesehatan, bagi civitas akademika Universitas Indonesia maupun masyarakat luas. (JB/02/GlG)