Jakarta, JaringBisnis. Sistem pemerintahan negara Indonesia yang menganut sistem presidensial, namun lebih terasa parlementer, membuat presiden sulit membentuk kebinet yang isinya kalangan ahli.
“Akibatnya presiden Indonesia di era reformasi kesulitan membentuk zaken kabinet atau kabinet yang berasal dari kalangan ahli dan bukan representasi dari suatu partai politik tertentu,” kata pengamat politik dari Unas, Selamat Ginting, Jumat (10/5/2024).
Menurutnya, kendati Prabowo Subianto telah terpilih menjadi presiden hasil pilpres 2024, namun partai politiknya Gerindra hanya menduduki posisi ketiga. Apalagi, Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukungnya dalam pilpres hanya mendapatkan sekitar 48,3 persen kursi di parlemen. Terdiri dari Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PAN.
Sementara lawan politiknya, yaitu kubu pendukung Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo jika digabung mendapatkan 51,7 persen kursi di DPR. Terdiri dari PDIP, Partai Nasdem, PKB, dan PKS.
“Kondisi inilah yang membuat presiden terpilih di era reformasi gamang bahkan ketakutan jika lawan politiknya tidak diajak bergabung ke dalam kabinet. Takut diganggu di parlemen, sehingga cenderung membuat kabinet gemoy (gemuk),” kata Ginting.
Hal ini merupakan tanggapan Ginting atas wacana presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 kementerian.
Masalahnya, Ginting menjelaskan pada Pasal 12, 13, dan 14, Undang Undang Kementerian Negara Nomor 39 Tahun 2008, telah diatur pembatasan jumlah bidang kementerian yaitu sebanyak 34. “Untuk menambah nomenklatur harus terlebih dahulu merevisi UU Kementerian Negara,” katanya.
Presiden terpilih, lanjutnya, tidak bisa serta merta menambah jumlah kementerian tanpa merevisi undang-undang, karena akan melanggar hukum.
“Disebutkan paling banyak 34 kementerian, dengan rincian empat menteri koordinator, dan 30 menteri bidang,” kata pengamat politik yang sebelumnya menjadi wartawan di bidang politik tersebut.
Dia mengingatkan agar presiden terpilih Prabowo Subianto tidak sekadar mengakomodasi kepentingan partai politik yang justru pada saat pilpres menjadi lawan politiknya. “Jika Prabowo akan menambah jumlah kementerian dengan mengakomodasi lawan politiknya, artinya Prabowo gamang dan tidak yakin dapat mengendalikan pemerintahannya dengan efektif,” katanya.
Kondisi seperti ini, lanjutnya, mirip seperti era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Jokowi yang ketakutan dengan lawan politiknya, sehingga merangkulnya ke dalam kabinet.
“Bagi-bagi jabatan dengan mengabaikan zaken kabinet seperti era Jokowi tidak perlu ditiru. Apalagi sejumlah menteri dari partai politik, utamanya dari partai pendukung justru menggerogoti pemerintahan dengan tindakan korupsi,” katanya lagi.
Disebutkan sejumlah menteri pemerintahan Presiden Jokowi dari partai politik ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti Idrus Marham (Golkar), Juliari Batubara (PDIP), Johnny Plate dan Syahrul Yasin Limpo (Nasdem), Imam Nahrawi (PKB), dan Edhy Prabowo (Gerindra). Sedangkan di era Presiden SBY ada lima menteri dan era Presiden Megawati Soekarnoputri ada tiga menteri yang ditangkap KPK. (JB/02/GlG)