Jakarta, JaringBisnis. Untuk mendorong terwujudnya kerja layak bagi pekerja lepas (freelancer), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) kembali meluncurkan inisiatif penghitungan upah layak khusus freelancer melalui kalkulator online di Jakarta, 15 Juni 2024.
Kalkulator online ini dapat diakses secara gratis di .http://upahlayakfreelancer.sindikasi.org/
“Upah layak diartikan sebagai upah yang dapat mencukupi kebutuhan hidup pekerja sekaligus keluarganya sekaligus mengubah kemampuannya dalam menikmati kehidupan personal, organisasi, dan sosial. Upah layak berbeda dengan upah minimum yang hanya memenuhi kebutuhan dasar hidup dan terbukti sulit mengeluarkan pekerja dari jebakan lingkaran utang,” ungkap Koordinator Tim Peneliti Upah Layak SINDIKASI, Estu Putri Wilujeng.
Estu menjelaskan penentuan upah kayak ini mengadaptasi pemikiran Seubert, Hopfgartner, dan Glaser (2021) yang mengintegrasikan upah dan kerja kayak dengan beberapa penyesuaian sesuai hasil kajian SINDIKASI dalam buku “Upah Layak untuk Semua: Model Pengupahan Pekerja Lepas Industri Media dan Kreatif”.
“Untuk mendapatkan upah kerja layak, freelancer akan diminta untuk mengisi data yang mencakup beberapa dimensi kebutuhan. Pertama, dimensi reproduktif dan material yang meliputi kebutuhan kerja dan hidup sehari-hari. Dimensi kedua adalah status dan rekognisi yang mencakup masa pengalaman kerja, tingkat keterampilan kerja, dan beban kerja. Ketiga, dimensi aktualisasi diri yang mencakup kebutuhan pengembangan diri baik secara mandiri maupun institusional,” tambah dia.
Sementara itu, Ketua Umum SINDIKASI Ikhsan Raharjo menyoroti aspek legal formal yang menghambat perlindungan upah bagi para freelancer. Misalnya, regulasi dan kementerian/lembaga negara masih belum mampu mendefinisikan kelompok freelancer dengan baik sehingga berdampak pada lemahnya perlindungan bagi mereka.
Badan Pusat Statistik menggunakan istilah “pekerja bebas”, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan memasukkan freelancer dan pengusaha ke dalam satu kelompok yaitu “Pekerja Bukan Penerima Upah”, Kementerian Ketenagakerjaan mendefinisikannya sebagai pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), sementara Undang-undang No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat menggolongkannya ke dalam “pekerja mandiri”.
“Negara juga belum melindungi praktik pencurian upah sering dialami freelancer selama ini. Ada tiga bentuk yang paling sering ditemukan yaitu pemberi kerja telat membayarkan upah freelancer, nominal upah yang diterima kurang dari yang diperjanjikan, dan kasus terparah pemberi kerja kabur tidak membayarkan upah setelah pekerjaan selesai,” ungkap Ikhsan.
Hal lain yang merugikan upah freelancer adalah Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih membolehkan adanya perjanjian kerja yang dibuat secara lisan. “Pada praktiknya, hubungan kerja yang dibuat hanya lewat lisan sering menjadi celah pelanggaran pengupahan yang dialami freelancer. Ketiadaan perjanjian kerja tertulis juga merupakan wujud rentannya freelancer di hadapan pemberi kerja yang seringkali enggan membuat dokumen tertulis itu.”
Di forum yang sama, Direktur Ekonomi Digital Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menyoroti pengakuan kelompok freelancer di ekonomi gig seperti pengemudi daring yang saat ini terjebak dalam hubungan kemitraan. Adapun Nadia Pralitasari dari WageIndicator mengapresiasi lahirnya kalkulator online SINDIKASI sekaligus berharap bisa mengintegrasikannya dengan sistem serupa yang dikembangkan oleh lembaganya. (JB/02/GlG)