Jakarta, JaringBisnis. Publik jangan terlalu reaktif negatif dalam penempatan militer aktif di jabatan sipil. Justru publik harus melihatnya sebagai antisipatif positif menghadapi tantangan masalah pertahanan keamanan negara (hankamneg) ke depan, demikian pendapat pengamat politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting.
“Publik jangan apriori terlebih dahulu, apalagi menuding TNI ingin kembali menghidupkan Dwifungsi ABRI atau memiliki fungsi pertahanan keamanan dan fungsi sosial politik,” kata Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Selasa (4/6).
Berdiri Setelah UU TNI
Menurutnya, saat UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI disahkan, pada saat itu belum ada lembaga setingkat kementerian atau badan yang membutuhkan personel aktif TNI.
Misalnya, kata Ginting, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) disahkan pada 2007. Kemudian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2012. Begitu juga dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada 2014. Setelah itu ada pula Badan Siber Sandi Negara (BSSN) pada 2017. Termasuk Badan SAR Nasional (Basarnas)
pada 2017. Begitu juga dengan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) di bawah Kementerian Dalam Negeri pada 2008. “Lembaga setingkat kementerian dan badan-badan nasional itu memerlukan personel aktif militer untuk penugasan-penugasan spesifik yang memerlukan keahlian khusus bidang hankamneg,” kata dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.
Contoh, kata Ginting, BNPB. TNI memiliki personel paling siap dalam menghadapi bencana alam, karena TNI memiliki satuan tugas reaksi cepat bencana alam untuk Indonesia Barat dan Indonesia Timur yang siap diberangkatkan satu jam setelah terjadinya bencana alam. Termasuk alat-alat berat Zeni untuk dikerahkan ke lokasi bencana alam.
“Masyarakat justru seharusnya berterima kasih kepada TNI sebagai institusi pertama yang selalu berada paling awal dan paling sigap dalam penanggulangan bencana alam,” ujar Ginting.
Butuhkan TNI Polri
Hal yang sama juga berlaku untuk BNPT. Sebab, lanjut Ginting, TNI dan Polri memiliki sumberdaya manusia yang dilatih untuk menanggulangi terorisme. Polri mesti dibantu TNI dalam penanggulangan terorisme, karena TNI tiga matra memiliki satuan penanggulangan terorisme (Gultor).
“Apakah masyarakat menolak kehadiran TNI dan Polri dalam gultor? Jika menolak yang diuntungkan justru kelompok radikal yang berujung menjadi kelompok terorisme,” ungkap Ginting menjelaskan.
Hal lainnya, kata dia, seperti Bakamla. Institusi ini sejak awal banyak diawaki personel TNI Angkatan Laut dibantu Kepolisian Air. Sehingga negara membutuhkan kehadiran personel militer aktif dan polisi aktif di Bakamla.
“Itu contoh-contohnya dan tidak perlu dituding akan hidupkan Dwifungsi ABRI. Profesional saja sesuai keahlian dan kebetulan pegawai negeri sipil tidak memiliki kecakapan memadai untuk menjaga keamanan laut kita,” ujar Ginting menerangkan.
Dikemukakan, dalam BSSN juga begitu. Personel TNI sesungguhnya sudah ada sejak embrio lembaga ini berdiri. Tentu saja personel TNI dan Polri yang memiliki keahlian dalam bidang sandi, intelijen, dan siber. Tidak mungkin BSSN tidak dibantu personel TNI dan Polri.
“Jadi masyarakat jangan apriori dengan adanya personel aktif TNI dan Polri di lembaga-lembaga yang memang membutuhkan kehadiran mereka,” ungkap Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik dan hankamneg.
Yang mesti dipikirkan baik buruknya, lanjut Ginting, pengaturan apakah mesti pensiun diri dari dinas TNI maupun Polri bagi mereka yang menduduki jabatan sipil.
Politik Negara’
Mengenai kekhawatiran hadirnya kembali Dwifungsi ABRI, menurut Ginting, mesti dilihat secara jernih untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Fungsi hankamneg memang jadi tugas TNI dan Polri. Sedangkan fungsi sosial politik, memang mesti dikritisi dan dievakuasi jika ada yang menyimpang.
“Siapa bilang TNI dan Polri tidak boleh berpolitik? TNI dan Polri tetap harus berpolitik. Namun bukan politik praktis melainkan politik negara. Sebagai aparatur negara, politik mereka adalah politik negara,” tegas Ginting.
Lagi pula, kata dia, kondisi di era Orde Reformasi saat ini tidak memungkinkan TNI dan Polri bertindak sebagaimana era Orde Baru dan Orde Lama (Demokrasi Terpimpin).
“Ada parlemen, media massa, lembaga swadaya masyarakat, akademisi kampus, dan masyarakat sipil yang akan mengawasi jika TNI dan Polri keluar jalur. Jadi tidak mungkin TNI dan Polri akan kembali seperti saat berlakunya Dwifungsi ABRI,” pungkas Ginting. (JB/01/Ole)