Jakarta, JaringBisnis. Dinamika perekonomian global kembali menghadirkan sentimen yang beragam pasar modal. Bukan hanya pergantian pemerintahan Indonesia, namun US election yang menghadirkan kejutan dengan pengunduran diri Joe Biden dari pencalonan.
Hal ini menjadi bahasan dari Webinar bertajuk ‘Sliver Hope for The Future of Indonesia Capital Market yang digelar oleh Sinarmas Sekuritas (SimInvest) pada Senin (22/7). Hadir sebagai narasumber Head of Fixed Income Research Sinarmas Sekuritas Aryo Perbongso dan Head of Institutional Research Sinarmas Sekuritas Isfhan Helmy.
Head of Fixed Income Research Sinarmas Sekuritas Aryo Perbongso menekankan harapannya agar data terkini di US memberi dampak signifikan bagi market di Indonesia.”Terkait dengan data terbaru dari US seperti data inflasi yang turun dan labor market data yang melemah memberikan harapan terkait dengan FED cut rate akan menguat di bulan September 2024, serta terjadi 2 kali di tahun 2024.”
“Dengan adanya ekspektasi tersebut membuat imbal hasil Treasury AS tenor 10 tahun mencapai 4.21%, sedangkan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun juga ikut menurun sebesar 6.95%.
Serta rupiah mengalami apresiasi menjadi 16,122 pada 15 Juli 2024, karena adanya kepastian yang diberikan pemerintah terkait dengan APBN 2024. Selain itu, adanya inflow dari foreign ke SRBI yang mencapai sebesar 130 triliun sampai dengan bulan Juni 2024,” pungkas Aryo.
Sementara itu Isfhan Helmy Institutional Research Sinarmas Sekuritas menilai bahwa tekanan yang terjadi pada pasar saham Indonesia sejak bulan April hingga Juni lalu lebih dikarenakan keluarnya dana asing yang berjumlah lebih dari Rp 25 triliun secara kumulatif dalam periode April hingga Juni.
“Keluarnya dana asing lebih dipicu pada ketidakpastian arah kebijakan fiskal pemerintahan mendatang (Prabowo-Gibran), terutama terkait dengan defisit anggaran dan Tingkat hutang Indonesia.”
“Namun, kekhawatiran investor asing seharusnya sudah terjawab dengan siaran pers pada akhir Juni lalu antara Menteri Keuangan incumbent, Sri Mulyani dan juga tim ekonomi Prabowo-Gibran yang diwakili Thomas Djiwandono, Dimana yang bersangkutan kini telah diangkat menjadi Wakil Menteri Keuangan.
Hal ini dianggap guna menjamin mulusnya masa transisi, terlebih lagi dengan kepastian anggaran makan siang gratis yang hanya mencapai Rp 71 triliun untuk tahun 2025 atau jauh dibawah ekspektasi semula yang bisa mencapai Rp120 triliun,” pungkas Ishfan.
Ruang Fiskal masih terbuka, rasio hutang tetap terjaga
Pada Analisa mendalam, SimInvest melakukan simulasi APBN sepanjang masa jabatan akan datang oleh Prabowo-Gibran dan berkesimpulan bahwa ruang spending fiscal masih cukup terbuka lebar dengan Tingkat hutang terhadap GDP tidak jauh berubah dari saat ini.
Ada beberapa catatan yang dinilai harus dicapai diantaranya menaikan rasio tax-to-GDP mendekati angka 11%, yang kami asumsikan akan dicapai pada tahun 2028. Sementara tax ratio tahun 2025 seharusnya bisa dinaikan menjadi 10.5%.
Salah satunya dengan kenaikan PPN berkala Dimana berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 11% akan dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi maksimal 15% melalui undang-undang tersebut. Disisi lain, guna mencapai target makan siang gratis untuk 80 juta siswa pada tahun 2028, pemerintah harus tetap menjaga belanja subsidi agar tidak melebihi Rp300 triliun.
Kami melihat masih ada beberapa alternatif pengurangan maupun pengalihan subsidi agar lebih tepat sasaran. Sementara untuk belanja infrastruktur, kami melihat berdasarkan progress pembangunan IKN saat ini, tidak ada resiko melonjak nya belanja infrastruktur pada masa pemerintahan mendatang.
Hal ini tercermin dari realisasi pembangunan infrastruktur IKN yang baru mencapai Rp72 triliun per Juni lalu, bahkan realisasi tahun ini baru mencapai Rp5.5 triliun.
Kami melihat belanja infrastruktur maksimal hanya akan mencapai Rp500 triliun per tahun pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran nanti, atau hanya naik 10% dibandingan realsisasi pada tahun 2023 lalu sekitar Rp450 triliun.
Disisi lain, jika program makan siang gratis dikategorikan dalam belanja Pendidikan, maka kami perkirakan belanja Pendidikan akan mencapai Rp1,000 triliun pada tahun 2027-28 nanti.
Biaya makan siang gratis 2025 mungkin sekitar Rp12,500
Pada Analisa mendalam kami tentang program makan siang gratis, kami menilai anggaran Rp71 triliun untuk tahun 2025 hanya akan mampu menyasar sekitar 22 juta siswa dengan asumsi biaya makan siang (termasuk susu) beserta logistic sebesar IDR12,500.
Kami menilai ini masih sangat memungkikan jika pemerintah memulai dari Tingkat pendidikan paling bawah yaitu toddler maupun TK, atau paling tidak SD kelas 1-3.
Nantinya, biaya makan siang gratis baru akan naik perlahan Ketika menjangkau Tingkat Pendidikan yang lebih tinggi. Secara berkala, kami memperkirakan pada tahun 2026, total anggaran makan siang gratis akan mencapai Rp210 triliun dengan target 55 juta siswa, lalu anggaran akan maksimal pada tahun 2026 ketika akan menyasar 80 juta siswa dengan total anggaran akan mencapai Rp360 triliun.
Hal ini masih sedikit di bawah asumsi awal tim Prabowo-Gibran pada masa kampanye yang menargetkan pada puncaknya, anggaran makan siang gratis akan mencapai Rp400 triliun per tahun.
Kami menilai tahun 2026 paling cepat, target makan gratis terhadap 80 juta siswa akan tercapai dengan catatan kenaikan rasio pajak dapat dicapai secara berkala dengan target rasio pajak terhadap PDB di tahun 2026 sebesar 10.7%, atau naik dari 10.3% pada tahun 2023. Dengan adanya kepastian fiskal ini kami menilai investor seharus tidak terlalu khawatir akan perubahan drastis postur APBN.
IHSG berpotensi Kembali ke level 7,500, dipimpin saham perbankan dan konsumsi
Dengan sudah lebih jelasnya arah kebijakan fiskal maupun keterlibatan pemerintah Jokowi dalam masa transisi, kami menilai bahwa tekanan pada IHSG sudah mereda.
Hal ini tercermin dari minimnya dana asing yang keluar dari pasar saham pada bulan Juli dan tercatat investor asing Kembali membeli pada saham big banks, dipimpin oleh Bank Central Asia (BBCA) sebesar Rp3.9 triliun dan Bank Mandiri (BMRI) sebesar Rp1.1 triliun.
Disamping itu Bank Syariah Indonesia (BRIS) juga mencatatkan dana asing yang masuk sebesar Rp450 miliar. Investor asing tercatat lebih selektif kali ini dengan tidak ada nya Bank Negara Indonesia (BBNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dalam top buy lists investor asing.
Hal ini dikarenakan BBNI mengalami tekanan NIM (net interest margin) karena belum mampu pass-on kenaikan cost of fund terhadap loan yield.
Sementara BBRI yang menjadi bank pertama yang merevisi cost of credit pada 1Q24 lalu dikarenakan meningkatnya special mention loan (SML) pada segmen mikro dan small yang sudah mencapai diatas 5%, dari semula dibawah 3%.
Kami menilai, 2Q24 earnings akan menjadi crucial dalam melakukan assessment terhadap prospek perbankan di Indonesia. Jika tidak lagi ada bank yang merevisi cost of credit lebih tinggi dan tidak terjadi lonjakan dari sisi NPL (non-performing loan), maka kami menilai kenaikan IHSG akan berlanjut dipimpin oleh naiknya saham-saham perbankan.
Meskipun dana asing masuk secara massive ke BMRI dan BBCA namun kami menilai upside potential kedua saham tersebut sudah minim dikarenakan valuasi yang sudah overvalue Dimana kedua bank tersebut diperdagangkan di atas +1 standar deviasi di atas rata-rata price-to-book nya.
Kami lebih menyukai BBRI dan BBNI, terutama jika kedua bank tersebut membuktikan bahwa keadaan tidak akan lebih buruk di 2Q24. Target price kami untuk BBNI adalah Rp6,200 (BUY, 22% upside) dan untuk BBRI adalah Rp5,700 (BUY, 17% upside).
Untuk BBNI, kami yakin bahwa secara gradual bank tersebut mampu melakukan adjustment pada loan yield sehingga menghindari tekanan lebih lanjut pada NIM. Dan untuk BBRI, kami tidak melihat adanya potensi downgrade secara massive dari SML menjadi NPL di segmen mikro dan small, terlebih lagi secara nasional Tingkat konsumsi sudah jauh lebih baik.
Ini tercermin dari belanja pemerintah yang cukup tinggi di 1Q24 lalu dan pemerintah juga merevisi anggaran belanja sepanjang tahun di 2024 menjadi Rp87 triliun lebih tinggi dari semula, menjadi Rp3.4 triliun.
Beberapa pos anggaran belanja yang cukup signifikan pada 2H24 adalah subsidi pupuk sebesar Rp24 triliun, Bansos (beras, ayam dan telur) sebesar Rp11 triliun dan juga biaya Pilkada sebesar Rp32 triliun.
Seiring membaiknya konsumsi, kami juga menjagokan saham sektor konsumsi yaitu Indofood CBP (ICBP) dengan target harga Rp13,200 (BUY, 23% upside) dan Sumber Alfaria (AMRT) dengan target harga Rp3,350 (BUY, 16% upside). Kedua saham tersebut diuntungkan oleh membaiknya Tingkat konsumsi grassroot, yang ditopang oleh generousnya belanja pemerintah.
Secara umum, kemi memasang target IHSG di level 7,500 untuk tahun 2024 (13.7x P/E, atau -1 standar deviasi dari historical mean), dan 7,900 untuk tahun 2025 (14.5x P/E, atau -1.5 standar deviasi dari historical mean). (JB/01/Ole)