Jakarta, JaringBisnis. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan memberikan perlindungan kepada tiga korban kasus pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan eks Kapolres Ngada, AKB FWL. Tersangka dijerat dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dan Atau Undang-Undang ITE.
Keputusan diterimanya permohonan para korban berdasarkan Keputusan Sidang Mahkamah Pimpinan LPSK (SMPL) pada Rabu (9/4/2025). Ketiga korban diputuskan mendapatkan perlindungan berupa Pemenuhan Hak Prosedural dan Fasilitas Penghitungan Restitusi.
“Bantuan rehabilitasi psikologis juga diberikan pada salah satu korban yang masih berusia 6 tahun,” kata Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati dalam keterangan yang diterima, Selasa (22/4/2024).
Dikatakan, dalam menindaklanjuti permohonan perlindungan yang diajukan para korban, LPSK telah melakukan sejumlah langkah meliputi pendalaman informasi terkait sifat penting keterangan, berkoordinasi dengan UPTD PPA Provinsi NTT bekerjasama dengan Himpunan Psikolog (HIMPSI) NTT guna menganalisis tingkat ancaman dan situasi psikologis korban.
Layanan Pemenuhan Hak Prosedural diberikan LPSK untuk melakukan pendampingan kepada korban dalam memberikan keterangan dalam setiap proses peradilan pidana yang pelaksanaannya dikerjasamakan dengan Sahabat Saksi dan Korban NTT, LBH APIK-NTT, Pendamping Rehsos Kemensos Prov. NTT dan UPTD PPA Provinsi NTT.
Perangi eksploitasi seksual
Nurherwati menambahkan, selain perlindungan kepada korban, fokus utama yang perlu ditekankan terkait penanganan perkara ini adalah kaitannya dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan tujuan eksploitasi seksual yang terjadi di NTT.
“Status korban adalah anak perempuan yang dieksploitasi secara seksual menggunakan aplikasi media sosial. Untuk itu, pelaku dapat dijerat dengan UU TPKS, Perlindungan Anak, TPPO dan ITE,” ujar Nurherwati.
Ditambahkan, posisi rentan anak perlu diperhatikan. Dalam memberikan perlindungan serta pemenuhan atas hak-haknya, tumbuh dan perkembangan secara optimal perlu diperhatikan baik fisik, mental, spiritual, maupun situasi sosialnya.
“Akses anak-anak terhadap aplikasi digital perlu menjadi perhatian dan dilakukan penindakan terhadap pltaform penyedia. Karena TPPO dalam bentuk eksploitasi seksual menjadi ancaman serius buat tumbuh kembang anak,” tegas Nurherwati.
Dia berharap, pemerintah pusat, daerah dan aparat penegak hukum memberi atensi khusus dalam penanganan TPPO, khususnya eksploitasi seksual yang berkembang di NTT dan pentingnya edukasi kesehatan reproduksi.
“Seluruh pihak dapat mengambil pelajaran dari kasus ini. Hak anak jangan diabaikan karena keterbatasan ekonomi, masalah rumah tangga, atau gaya hidup yang berkembang saat ini. Pemerintah pusat juga seharusnya menindak aplikasi digital yang digunakan untuk eksploitasi seksual,” pungkasnya. (JB/03/Wid)