Depok, JaringBisnis. Wafatnya pasangan suami isteri lanjut usia (lansia) di Bogor, pertengahan Juli 2024 lalu, barangkali menjadi fenomena gunung es di mana masalah kesejahteraan lansia di Indonesia masih sangat jauh dari harapan. Kedua lansia tersebut ditemui wafat sekitar tiga hingga empat hari sebelum akhirnya ditemukan warga yang curiga karena keduanya tak pernah lagi terlihat keluar rumah, disertai aroma menyengat yang berasal dari rumah pasutri tersebut.
Ditemui di Kampus Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Ketua Kelompok Studi Kesehatan Reproduksi, Prof. Dr. dr. Sabarinah, M.Sc., mengatakan bahwa meningkatnya angka harapan hidup penduduk Indonesia menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam mengaplikasikan program-program di sektor kesehatan. “Hanya saja, hal ini juga membawa implikasi lain seperti soal kesejahteraan lansia, dukungan keluarga dan sosial, pembiayaan kesehatan, dan sebagainya.”
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020, terdapat 9,93 persen penduduk lanjut usia di Indonesia di mana angka ini meningkat 2,34 persen dalam satu dasawarsa terakhir. Sayangnya, data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2021 juga menunjukkan bahwa ada 9,99 persen lansia yang hidup dalam kesepian. Tercatat, 4,74 persen lansia laki-laki dan 14,78 persen lansia perempuan hidup sendiri.
“Padahal lansia membutuhkan dukungan keluarga dan sosial. Setidaknya, dalam satu hari mereka mesti berbicara dengan minimal tiga orang yang berbeda yang membuat mereka tetap bersemangat, sehat -sekaligus mengurangi risiko terkena demensia alzheimer,” kata Prof. Sabarinah.
Lebih jauh Prof. Sabarinah mengatakan bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 yang mengatur tentang kesejahteraan penduduk lanjut usia. Namun praktik di lapangan masih jauh panggang dari api, karena persoalan lansia dianggap kurang seksi untuk dibahas.
“Isu lansia tergeser, dianggap bukan prioritas. Padahal ini adalah isu kependudukan yang sangat penting karena pada akhirnya terkait dengan sektor ekonomi, sosial, kesehatan, dan lingkungan,” ujarnya.
Yang Tua Tetap Berkarya
Ketua Departemen Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Dr. Drs. Tris Eryando, M.A., mengatakan bahwa penting bagi lansia untuk tetap produktif di masa tuanya dan tetap bersosialisasi dengan sesamanya.
“Ada program pemerintah Jepang di mana para lansia dikaryakan dengan merawat taman-taman kota. Mereka akan dijemput, kemudian bertemu bersama-sama dengan lansia lainnya untuk melakukan kegiatan bersama yang memberikan manfaat pada kebaikan kota,” katanya. Hal ini, menurut Dr. Tris akan meningkatkan rasa percaya diri lansia karena mereka merasa masih dibutuhkan dan dihargai. Pembuktian bahwa mereka tetap mampu berkarya di usia tuanya.
Tanpa banyak yang tahu, ternyata sekira satu dasawarsa lalu, pemerintah Jepang juga sempat mencontoh program Bina Keluarga Lansia (BKL) yang diinisiasi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Prof. Haryono Suyono. M.A., Ph.D, Kepala BKKBN di era Pemerintahan Presiden Soeharto dan B.J. Habibie, menelurkan program posyandu yang kemudian ia kombinasikan dengan program Bina Keluarga Lansia.
Kombinasi kedua program ini, menurut Dr. Tris, sejatinya sangat bermanfaat karena lansia akan bertemu sesamanya, bisa mencurahkan cinta pada balita, merasa dihargai karena melakukan perbuatan yang memberi manfaat pada generasi selanjutnya. Di sisi lain balita dan keluarga muda mendapatkan perhatian dan cinta dari senior citizen yang tentu saja memiliki pengalaman dan pengetahuan yang barangkali bisa bermanfaat, serta minim unsur komersil.
“Hanya sayang, program BKL ini meredup dan tak terdengar lagi,” kata Dr. Tris. Ia berharap, di masa pemerintahan Prabowo-Gibran perhatian kepada lansia kembali ada, seperti perhatian besar pemerintahan pada masalah stunting dan gizi balita dengan program makan siang gratis. Semoga. (JB/02/GlG)