Jakarta, JaringBisnis. KH Abdurrahman Wahid dikenal sebagai tokoh bangsa. Presiden Indonesia pada 1999-2001 tersebut tercatat dalam sebagai bapak pluralisme, pejuang kemanusiaan, dan guru bangsa yang menembus sekat-sekat agama, budaya, maupun politik.
Warisan pemikiran tokoh bangsa yang akrab dengan panggilan Gus Dur tersebut tidak sekadar hadir dalam ide, tetapi hidup dalam humanisme kultural, yaitu sebuah pandangan yang meletakkan manusia sebagai pusat peradaban dengan segala martabat dan kemuliaannya.
Hal tersebut mengemuka dalam kegiatan Majelis Nyala Purnama yang mengangkat tema ‘Humanisme Kultural Gus Dur’ di selasar Gedung Makara Art Center Universitas Indonesia, Rabu (10/9/2025). Event ini digelar Makara Art Center Universitas Indonesia bekerjasama dengan Komoenitas Makara, dan Urban Spiritual Indonesia berkaitan dengan hari lahir Gus Dur yang jatuh pada 7 September 2025.
“Humanisme Gus Dur bukan berakar dari filsafat liberalisme yang menafikan dimensi religius. Sebaliknya humanisme Gus Dur justru bersumber dari nilai, ajaran dan spirit religiusitas Islam dan berakar pada tradisi Nusantara,” ungkap Direktur Kebudayaan Universitas Indonesia, Ngatawi Al Zastrouw yang juga merupakan orang kepercayaan Gus Dur sejak medio 1990-an.
“Gus Dur menjadi nilai-nilai ajaran Islam sebagai sumber inspirasi dan fondasi nilai dalam mengembangkan humanisme kemudian menggali akar tradisi Nusantara sebagai jangkar dalam membangun konsep nasionalisme. Inilah yang menyebabkan humanisme Gus Dur bisa diterima dan diamalkan dengan mudah,” tambahnya.
Sedangkan Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Bondan Kanumoyoso mengatakan humanisme kultural Gus Dur berakar pada pandangan bahwa manusia harus diperlakukan secara adil dan bermartabat tanpa membedakan agama, etnis, atau budaya. Gus Dur, jelasnya, menekankan pentingnya kebudayaan sebagai ruang perjumpaan yang mampu menjembatani perbedaan dan membangun solidaritas sosial.
“Melalui gagasan ini, Gus Dur berusaha meneguhkan Indonesia sebagai rumah bersama, di mana nilai-nilai kemanusiaan menjadi fondasi utama kehidupan berbangsa dan bernegara,” tutur Bondan Kanumoyoso.
Sedangkan Ketua Komoenitas Makara Fitra Manan menyebut Gus Dur bukan hanya seorang presiden, ulama, atau intelektual, melainkan juga seorang humanis sejati. Humanisme ala Gus Dur, jelasnya, bukanlah sebuah teori kering, melainkan praktik hidup yang terwujud dalam kelakar dan tindakannya sehari-hari.
“Gus Dur mampu menertawakan segala hal, bahkan dirinya sendiri, sebagai cara untuk meruntuhkan sekat-sekat formalitas, dogma, dan perbedaan yang memisahkan manusia. Humanisme Gus Dur mengajarkan bahwa kasih sayang dan penerimaan terhadap sesama, terlepas dari latar belakangnya, adalah inti dari agama dan kemanusiaan. Kelakar dan cerita lucunya yang sering kali nakal dan cerdas, berfungsi sebagai cara untuk melampaui konflik dan membangun jembatan persahabatan,” ungkap Fitra Manan. (JB/03/Wid)
makara art center, komoenitas makara, majelis nyala purnama,