Depok, Jaring Bisnis. Lelaki yang katanya pengacara, yang konon jenjang pendidikannya juga masih disangsikan itu, tetiba naik ke meja di ruang persidangan, Jumat (7/2/2025) . Dari tayangan di televisi, di dunia maya -termasuk Instagram, Youtube, yang berasal dari media arus utama, maupun sosial media, lelaki itu berteriak-teriak membela kliennya yang juga sedang histeris meneriakkan,”Tidak bisa, tidak bisa. Ganti hakim.”
Ini fragmen paling murahan, menjijikan sepanjang sejarah persidangan di Indonesia. Pelakunya? Ah, sungguh manusia -manusia yang sejatinya dari sisi jurnalistik tak pantas dijadikan narasumber karena kredibilitas dan kompetensitasnya diragukan. Hal ini termaktub di Kode Etik Jurnalistik, Bab III Tentang Sumber Berita, Pasal 11, yang berbunyi ‘Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita.’
Pada sidang dengan nomor perkara LP/B/0212/V/2022/SPKT/Bareskrim Polri itu, terdakwa R emosi akibat majelis hakim menyatakan bahwa persidangan akan dilaksanakan secara tertutup. Hakim Ketua mengatakan,”Berdasarkan pasal 153 ayat 36, dan setelah mempertimbangkan bahwa perkara ini berkaitan dengan kesusilaan, majelis hakim memutuskan untuk menggelar sidang ini secara tertutup.”
R melakukan sanggahan, dan karena tidak terima ia mendekati saksi yang memberatkan yaitu HP. Dua tindakan R ini menjadi pemicu ricuhnya ruang sidang di mana hakim segera meninggalkan ruang sidang, sementara HP yang tampak tenang segera dilindungi oleh petugas pengadilan. Di saat R berteriak-teriak, berusaha ditenangkan dan dilerai itulah, pengacara bernama F naik ke meja sidang. Entah apa yang ada di pikirannya.
Kedua orang yang telah mencoreng sedemikian rupa dunia hukum di Indonesia, dengan tingkah, perbuatan, dan pernyataan -yang bukan sekali ini saja, tapi berkali-kali, harus ditindak dengan tegas. Seperti dilansir https://www.pn-sabang.go.id/ pada Tata Tertib Persidangan hampir semua pasal dan ketentuan dilanggar R dan F. Misalnya:
- Dilarang membuat kegaduhan baik di dalam maupun di luar ruang sidang.
- Duduk rapi dan sopan selama persidangan.
- Wajib menghormati institusi pengadilan.
- Dilarang memberikan komentar/saran/ tanggapan terhadap sesuatu yang terjadi selama persidangan tanpa izin majelis hakim.
- Dan beberapa poin lainnya yang relevan.
Jika keduanya kembali dimaklumi, seperti yang dulu-dulu, maka besar kemungkinan kepercayaan publik kepada institusi peradilan Indonesia semakin terpuruk ke dasar jurang. Jangan lagi bersikap kura-kura tidak tahu, pura-pura dalam perahu. Karena kita semua menyaksikannya, melihatnya, dan mual karenanya.
Kemudian, jangan juga membandingkannya dengan kasus Sambo. Karena kasus Sambo adalah kasus besar yang melibatkan institusi law enforcement sehingga publik wajib tahu fakta-fakta yang terjadi sebagai bagian dari transparansi publik. Lagipula, ini sesuai ucapan R sendiri bahwa kasus ini terlalu kecil. Jika terlalu kecil, kenapa pula harus membeberkan hal-hal susila yang tak penting buat publik.
Kembali dilihat dari sisi jurnalistik, R dan F sangat tidak patut dijadikan narasumber, karena sangat diragukan kompetensitas dan kredibilitasnya, kecuali pandai melakukan pencitraan dengan cara-cara tak layak (baca: rendahan). Bukan rahasia di kalangan wartawan, kadang ada cuan yang masuk rekening meski tidak diminta. Yang penting, ada liputan untuk mereka. Di sini wartawan merasa ‘tidak enakan’. Tapi di sisi lain, media gosip memang sangat butuh pemberitaan model begini untuk kebutuhan algoritma. Bertambahnya viewers.
Tapi apa iya, moralitas dan nalar anak bangsa dinafikan?
Apakah media kini lebih suka orang Indonesia jadi bloon? Come on, jangan kura-kura tidak tahu, pura-pura dalam perahu!
Penulis: Gilang (Dosen Praktisi IISIP Jakarta)