Jakarta, JaringBisnis. Masyarakat Madura dan Barisan Pemuda Melawan Korupsi (BMPK) meminta Bea dan Cukai menertibkan pabrik-pabrik rokok di Madura yang berstatus tidak aktif berproduksi namun masih mendapat kuota pembelian pita cukai Sigaret Kretek Tangan (SKT) non Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pasalnya, pabrik-pabrik tersebut dipakai oleh sejumlah pabrik rokok Kelas II di Malang, Pasuruan, dan Sidoarjo untuk mendapatkan pita cukai murah sehingga menimbulkan kerugian negara.
Hal itu diungkapkan aktivis antikorupsi dari BMPK, Kartika Dewantoro dalam siaran pers yang diterbitkan pada Selasa (10/9), di Jakarta terkait aspirasi masyarakat Madura yang disampaikan lewat bunga papan ke Kantor Bea dan Cukai Pusat Jakarta.
“Pada hari Senin (9/9) kami mengirim bunga papan untuk Dirjen Bea dan Cukai sebagai bentuk dukungan agar Bea dan Cukai segera memberantas peternakan pita cukai SKT non PPN di Madura,” kata Kartika.
Di Jawa Timur, pabrik-pabrik rokok yang berstatus tidak aktif beroperasi namun tetap mendapat kuota pembelian pita cukai SKT non PPN dikenal dengan istilah peternakan.
Pabrik-pabrik yang dimaksud berskala kecil dan masuk kategori non pengusaha kena pajak (PKP). Dengan menyandang status non PKP, pabrik-pabrik tersebut berhak mendapat kuota pembelian pita cukai SKT non PPN.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat, kata Kartika, sebagian besar peternakan pita cukai SKT non PPN di Madura dikendalikan oleh empat sindikat yang masing-masing merupakan kumpulan para pemilik pabrik rokok non PKP. Sindikat pertama dikenal sebagai Kelompok Martinus.
Sindikat kedua ialah Kelompok Johan. Adapun yang ketiga dan keempat santer dikenal dengan sebutan Kelompok Rohmawan dan Kelompok Choiril.
Kelompok Martinus mengendalikan peternakan pita cukai SKT non PPN untuk menyuplai pabrik-pabrik rokok Kelas II di Pasuruan. Kelompok Johan menyerap pita cukai SKT non PPN dari Madura untuk memasok pabrik-pabrik rokok Kelas II di dua wilayah, yaitu Malang dan Pasuruan.
Kelompok Rohmawan mengambil pita cukai SKT non PPN dari Madura untuk disalurkan ke pabrik-pabrik rokok Kelas II di Pasuruan dan Kelompok Choiril menyuplai pabrik-pabrik rokok Kelas II di Sidoarjo.
“Dari empat kelompok itu, yang paling besar menyedot pita cukai SKT non PPN dari Madura ialah Kelompok Johan lantaran sindikat ini menyuplai dua wilayah, yaitu Malang dan Pasuruan,” jelasnya.
Kartika melanjutkan, peternakan pita cukai SKT non PPN di Madura diduga telah berlangsung lebih dari satu tahun. Akibat ulah keempat kelompok itu telah membuat negara merugi dalam jumlah besar karena end user pita cukai SKT non PPN asal Madura tersebut ialah pabrik-pabrik rokok Kelas II di Malang, Pasuruan, dan Sidoarjo yang berstatus PKP.
“End user-nya PKP. Jadi pita cukai SKT non PPN asal Madura tersebut diserap dan dipakai oleh pabrik-pabrik rokok Kelas II berstatus PKP yang tersebar di Malang, Pasuruan, dan Sidoarjo. Artinya, pabrik-pabrik rokok Kelas II itu tidak membayar PPN ke negara,” terangnya.
Untuk diketahui, dalam industri rokok, negara memungut PPN melalui pita cukai. Negara mendapatkan pajak dibayar di muka secara bersamaan, yaitu berupa PPN, cukai, dan pajak daerah saat pabrik-pabrik rokok menebus pita cukai dari kantor Bea dan Cukai setempat. Inilah yang menjadi sumber penerimaan negara dari industri rokok di Tanah Air.
Di lain hal, mengenai kalkulasi nilai kerugian yang diderita negara akibat maraknya peternakan pita cukai SKT non PPN di Madura, Kartika menjelaskan harga tiap rim pita cukai SKT non PPN dengan pita cukai SKT PPN terpaut sekitar Rp 50 juta.
Adapun kuota pita cukai SKT non PPN yang bisa disedot oleh tiap kelompok yaitu antara 75 sampai 100 rim per bulan. “Kita ambil contoh Kelompok Johan sebagai yang terbesar menyedot pita cukai SKT non PPN dari Madura.
Kita pakai penyerapan terbesar karena kelompok ini yang paling banyak menyerap, yaitu 100 rim per bulan. Itu berarti setiap bulan Kelompok Johan menggelapkan PPN sebesar 100 kali Rp 50 juta atau Rp 5 milyar. Dalam satu tahun, total kerugian yang diderita negara ialah 12 kali Rp 5 miliar sama dengan Rp 60 miliar,” urainya.
Kerugian negara sebesar itu baru berasal dari satu kelompok. Di Madura terdapat empat kelompok besar yang mengendalikan peternakan pita cukai SKT non PPN. Berdasarkan kalkulasi, kata Kartika, negara diperkirakan menderita kerugian lebih dari Rp 200 milyar per tahun akibat ulah empat kelompok yang mengendalikan peternakan pita cukai SKT non PPN di Madura.
Tidak hanya merugikan penerimaan negara, menurut aktivis antikorupsi itu, maraknya peternakan pita cukai SKT non PPN di Madura juga telah mencoreng identitas Madura yang dikenal sebagai salah satu kota santri di Indonesia. (JB/01/Ole)