FKM UI DORONG PENGUATAN PENGAWASAN IKLAN ROKOK ELEKTRONIK DI ERA DIGITAL

Prof. Evi Martha, Guru Besar FKM UI sekaligus Ketua Tim Riset ITCRN 2025. (ist)

Jakarta, JaringBisnis. Iklan rokok eletronik di berbagai platform media sosial, situs web, aplikasi elektronil komersial masih banyak yang melanggar peraturan yang berlaku. Sebagian besar pelanggaran ditemukan pada Penayangan bentuk produk, tidak mencantumkan peringatan kesehatan, serta tidak mencantumkan larangan penjualan untuk usia di bawah 21 tahun dan perempuan hamil.

Demikian hasil penelitian ‘Evaluasi Kepatuhan Pelaku Usaha Rokok Elektronik terhadap Peraturan Iklan di Media Sosial, Situs Web, dan Aplikasi Elektronik Komersial’ yang dilakukan Tim Riset Indonesia Tobacco Control Research Network (ITCRN) 2025 dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).

Penelitian ini menganalisis 2.245 iklan rokok elektronik dari berbagai platform digital, terdiri atas 81,87% dari media sosial (Instagram 52%, Facebook 33%, TikTok 14%), 17,91% dari e-commerce (Tokopedia 53%, Shopee 31%, Blibli 17%), dan 0,22% dari situs web. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruh iklan (100%) melanggar peraturan yang berlaku. Analisis menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara pelaku usaha badan hukum dan individu, keduanya sama-sama berpotensi melakukan pelanggaran.

“Temuan ini memperlihatkan bahwa tidak ada satu pun platform digital yang sepenuhnya patuh terhadap regulasi. Media sosial menjadi kanal utama promosi rokok elektronik, padahal secara hukum dilarang untuk mengiklankan produk tersebut,” jelas Prof. Evi Martha, Guru Besar FKM UI sekaligus Ketua Tim Riset ITCRN 2025.

Penelitian ini juga menyoroti bagaimana pesan iklan rokok elektronik membangun citra produk sebagai simbol gaya hidup modern, ekspresi diri, dan kebebasan personal. Visualisasi yang menarik, penggunaan influencer, serta narasi yang mengaitkan produk dengan tren fashion dan budaya pop terbukti menjadi strategi dominan yang menargetkan generasi muda.

Hasil penelitian ini disebarluaskan melalui tiga kegiatan yaitu secara luring, bersama unsur mahasiswa dan jajaran lembaga kemahasiswaan FKM UI pada Kamis, 16 Oktober 2025 serta daring, bersama unsur pemerintah (kementerian dan lembaga) pada Kamis, 23 Oktober 2025 dan bersama unsur non-pemerintah (NGO dan asosiasi profesi) pada Jumat, 24 Oktober 2025.

Kegiatan ini terselenggara melalui hibah dari Institute for Global Tobacco Control, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI).

Rangkaian diseminasi ini bertujuan untuk menyampaikan hasil riset sebagai bahan pertimbangan bagi penguatan upaya pengawasan iklan rokok elektronik di berbagai platform digital, menggali masukan lintas sektor, serta membangun kesepahaman antar pemangku kepentingan dalam mendorong kebijakan pengendalian tembakau berbasis bukti.

Dijelasnyaa penelitian yang dilakukan berangkat dari situasi yang mengkhawatirkan yaitu jumlah perokok anak usia 10–18 tahun meningkat hampir tiga kali lipat dalam satu dekade (2013–2018), dan pengguna rokok elektronik naik hampir sepuluh kali lipat antara 2011–2021. Indonesia saat ini masih menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau WHO (FCTC).

Di sisi lain, terbitnya PP No. 28 Tahun 2024 tentang Pengendalian Produk Tembakau dan Rokok Elektronik membuka peluang untuk memperkuat implementasi kebijakan menjelang uji coba penuh pada Juli 2026.

Koordinator Indonesia Tobacco Control Research Network (ITCRN), Dr Abdillah Hasan menegaskan rokok bukanlah barang normal. “Rokom bukan goods, melainkan bads. Karena itu, rokok tidak boleh luput dari perhatian dan pemantauan para penggiat ilmu ekonomi,” jelasnya.

Rekomendasi dan tindak lanjut

Terkait hasil penelitian, ITCRN 2025 memberikan rekomendasi dan tindak lanjut yang bisa dilakukan. Naurah Assyifa Rilfi, S.KM, Advocacy and Program Coordinator Yayasan Cipta sekaligus anggota tim riset penerima hibah ITCRN 2025 menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, baik akademisi, mahasiswa, pemerintah, NGO, maupun platform digital dalam memperkuat pengawasan iklan rokok elektronik.

Untuk mahasiswa diharapkan menjadi agen perubahan melalui kampanye digital kritis yang menanggapi narasi iklan rokok elektronik. Lembaga kemahasiswaan FKM UI bahkan telah menyepakati pelaksanaan kampanye digital serentak pada 12 November 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan Nasional.

Sedangkan untuk pemerintah dan pemangku kepentingan, Tim riset mengajukan kerangka pengawasan interkolaboratif sesuai dengan amanat PP No. 28 Tahun 2024, mencakup Penyusunan regulasi teknis turunan PP yang melibatkan akademisi, NGO, dan platform digital, pembuatan regulasi standar periklanan oleh masing-masing platform digital, serta sistem pelaporan dan sanksi terkoordinasi antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Komunikasi dan Digital.

Selain itu, tim juga mengusulkan pengembangan Sistem Surveilans Kepatuhan Iklan Rokok Elektronik Berbasis AI sebagai Early Warning System dan Evidence-Based Enforcement Tool. Sistem ini akan mendeteksi, menganalisis, dan menandai pelanggaran iklan secara otomatis di berbagai platform digital.

Komitmen Bersama

Diskusi lintas sektor menghasilkan sejumlah kesepakatan awal Kementerian Kesehatan menyatakan akan menjadikan hasil riset ini sebagai masukan dalam penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan PP No.28 Tahun 2024.

Kementerian Komunikasi dan Digital menyambut baik ide pengembangan sistem surveilans berbasis AI untuk mendukung pengawasan terpadu.

Organisasi profesi dan NGO, termasuk IAKMI dan PDPI, mendorong perluasan advokasi di tingkat daerah serta riset lanjutan mengenai dampak medis dari penggunaan rokok elektronik.

Rangkaian kegiatan ini menegaskan komitmen FKM UI dan jejaring ITCRN dalam mendukung kebijakan pengendalian tembakau yang berbasis bukti dan adaptif terhadap tantangan era digital.

“Pengendalian iklan rokok elektronik tidak bisa dilakukan secara sektoral. Diperlukan sinergi, data yang kuat, dan keberanian untuk melindungi generasi muda dari paparan promosi produk adiktif,” pungkas Evi Martha. (JB/03/Wid)