Jakarta, JaringBisnis. Tari klasik Jawa gaya Surakarta kembali bergaung di Ibu Kota melalui pertunjukan bertajuk ‘Langen Mataya Bedhayan Gandrungmanis’ di Ruang Serba Guna Lantai 4, Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Minggu (26/10/2025). Pementasan ini merupakan hasil riset disertasi Naufal Anggito Yudhistira di Universitas Indonesia yang merekonstruksi kembali tari Bedhaya Gandrungmanis—karya Sinuhun Pakubuwana VIII yang sempat punah.
Pertunjukan berdurasi sekitar 40 menit yang dibawakan sembilan penari ini mengisahkan romansa klasik Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji yang terpisah akibat peperangan antara Ngurawan dan Bali, hingga akhirnya bersatu kembali. Kisah heroik dan romantis tersebut diterjemahkan lewat gerak lembut namun kuat khas tari Bedhaya, lengkap dengan penggunaan senjata pistol—elemen unik yang menjadi ciri khas tari ini.
“Pementasan ini merupakan bentuk reaktualisasi terhadap naskah dan tradisi lisan yang selama ini hanya tersimpan di arsip. Kami berusaha menghadirkan kembali ruh Bedhaya Gandrungmanis agar dapat diapresiasi generasi masa kini,” ujar Naufal Anggito Yudhistira yang juga menjadi penata tari sekaligus peneliti yang merekonstruksi karya ini.
Pertunjukan yang dihadiri lebih dari seratus penonton ini dibuka dengan sambutan dari Agung Kriswanto, perwakilan Kepala Perpustakaan Nasional RI. Antusiasme penonton terlihat sejak awal pertunjukan, yang menampilkan perpaduan apik antara gerak, musik karawitan, dan nuansa sastra Jawa klasik.
Dalam pementasan tersebut, para penari mengenakan busana dodot klembrehan bermotif Semen Latar Ukel dan kain samparan bermotif Parang Parikesit. Sanggul tekuk dengan aksen melati dan perhiasan sederhana berpadu dengan sampur kuning emas yang memperkuat karakter manis dan anggun dari Bedhaya Gandrungmanis.
Pementasan ini melibatkan kolaborasi seniman muda dari wilayah Jakarta dan sekitarnya, termasuk UKM Karawitan Sekar Widya Makara UI sebagai pengiring musik. Proses latihan dilakukan dengan bimbingan Ely D. Luthan sebagai penasihat tari dan Ngatiman sebagai pelatih karawitan.
“Melalui karya ini, kami berharap regenerasi penari dan pengrawit klasik Jawa dapat terus hidup, terutama di Jakarta yang menjadi pusat pertemuan berbagai budaya,” tambah Naufal. (JB/03/Wid)















