Jakarta, JaringBisnis. Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memperluas cakupan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ke tempat hiburan, seperti bar, diskotek, karaoke, dan kelab malam, menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi dampaknya terhadap perekonomian, khususnya sektor hiburan dan pariwisata.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus menyatakan kebijakan tersebut berisiko menimbulkan efek berantai yang signifikan terhadap berbagai subsektor yang berkaitan erat dengan industri hiburan.
“Pembatasan merokok di tempat hiburan tidak hanya akan memengaruhi konsumsi produk tembakau, tetapi juga dapat berdampak terhadap menurunnya jumlah pengunjung. Penurunan ini pada akhirnya berpengaruh terhadap permintaan sektor makanan dan minuman, jasa akomodasi, serta industri kreatif,” ujar Heri.
Ia menambahkan, segmentasi utama pengunjung tempat hiburan adalah masyarakat usia 21 tahun ke atas. Karena itu, apabila tujuan dari regulasi ini adalah untuk menekan prevalensi merokok pada usia muda, maka kebijakan tersebut dinilai kurang tepat sasaran.
“Pencegahan perilaku merokok pada usia muda sebaiknya difokuskan pada kawasan sekolah dan lingkungan sekitarnya, bukan pada sektor hiburan yang konsumennya merupakan kelompok usia dewasa,” jelasnya.
Kebijakan yang proporsional
Lebih jauh, Heri menyoroti bahwa kebijakan ini berpotensi memperburuk tekanan yang tengah dihadapi sektor pariwisata dan perhotelan. Ia mencatat bahwa kebijakan efisiensi belanja pemerintah telah mengakibatkan penurunan signifikan terhadap kegiatan luar kantor dan perjalanan dinas, yang sebelumnya menjadi salah satu penggerak utama sektor ini.
“Kami mencatat bahwa banyak hotel mengalami penurunan tingkat hunian bahkan penutupan operasional. Kondisi ini menyebabkan pengurangan jam kerja, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika dibiarkan, hal ini akan menambah beban pengangguran dan melemahkan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Indef mendorong agar pemerintah mengambil langkah mitigasi berupa pemberian stimulus ekonomi yang menyasar sektor terdampak secara langsung. Menurut Heri, stimulus dapat diberikan dalam bentuk penguatan daya beli, dukungan pembiayaan UMKM, maupun kebijakan fiskal yang mendorong pemulihan lapangan kerja.
Selain itu, Heri juga menyoroti pendekatan regulatif pemerintah yang masih menyamakan seluruh produk tembakau, termasuk produk alternatif seperti rokok elektrik (vape), meskipun kajian ilmiah menunjukkan adanya perbedaan profil risiko antara produk tersebut dan rokok konvensional.
“Produk tembakau alternatif seperti vape tidak menghasilkan tar karena tidak melalui proses pembakaran. Ini menandakan adanya perbedaan tingkat risiko. Namun hingga saat ini, pemerintah masih memberlakukan pendekatan yang seragam terhadap semua produk tembakau,” tambahnya.
Heri menekankan pentingnya perumusan kebijakan publik yang proporsional, berbasis data, dan mempertimbangkan kondisi sektoral di lapangan, agar tidak menambah tekanan terhadap sektor-sektor ekonomi yang masih berproses dalam pemulihan pasca-pandemi. (JB/03/Wid)