PUTUSAN KPU DAN MORALITAS SANG KETUA

Eko Supriahtno - Dosen IISIP Jakarta dan Praktisi Media (Foto : Dok. Pribadi)

Eko Suprihatno
Dosen IISIP Jakarta dan Praktisi Media

CINDRA Aditi Tejakinkin (CAT) boleh jadi tidak menyangka bahwa niat dan tekad untuk menyukseskan pemilihan umum (pemilu) 2024 malah berujung pada peristiwa tidak menyenangkan. Rayuan dan juga relasi kuasa yang dilakukan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari terhadap dirinya berakhir pada pemecatan sang ketua sesuai Putusan KPU No 90 tahun 2024.

Dari laman KPU di https://dkpp.go.id/wp-content/uploads/2024/07/Salinan-Putusan-90-Tahun-2024-KPU-RI.pdf tergambar jelas bagaimana proses pemecatan yang dilakukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia terhadap Hasyim. CAT merupakan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda, pada Pemilu 2024.

Entah apa yang terlintas dalam benak ketua KPU tersebut karena bukan kali ini saja urusan privat muncul. Dalam salinan putusan tersebut diungkapkan tentang Putusan No.35-PKE-DKPP/II/2023 dan No.39-PKE DKPP/II/2023 tertanggal 3 April 2023 menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada teradu Hasyim Asy’ari karena menjalin hubungan pribadi dengan Hasnaeni, Ketua Umum Partai Republik Satu.

Terkait dengan CAT, pada poin 20 di bab Duduk Perkara disebutkan bagaimana upaya pemaksaan untuk melakukan hubungan badan. Artinya, pada poin ini terlacak bagaimana ada upaya pelecehan seksual. Hal berbeda dengan Hasnaeni karena Hasyim tidak terbukti melakukan pelecehan.

Bahkan dalam acara Si Paling Kontroversi Metrotv (5/7), kuasa hukum CAT, Aristo Pangaribuan, mengatakan, peraturan KPU yang melarang pernikahan siri dan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan dengan sesama penyelenggara pemilu, bahkan sengaja diubah, untuk memuluskan rencana Hasyim.

Terkait dengan masalah etika, bukan sekali Hasyim melakukan pelanggaran. Setidaknya ia sudah empat kali bersikap tercela dan berujung pada sanksi pelanggaran etika. Hasyim terbukti melanggar etik dalam kasus rekrutmen calon anggota KPU Kabupaten Nias Utara periode 2023-2028.

Sanksi itu menjadi sanksi keempat yang diterima Hasyim. Tiga sanksi etik sebelumnya ialah bertemu dengan peserta pemilu, salah hitung kuota minimal 30% perempuan calon anggota DPR/DPRD, dan menerima pencalonan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka. (tempo.co.id 29 Februari 2024)

Persoalan Etika

Dalam abstraksi di kajian etika dosen Fikes Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta, Mulyo Wiharto, dituliskan bahwa etika adalah ilmu tentang baik dan buruk serta tentang kewajiban dan hak. Etika dapat diartikan sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Etika adalah nilai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Sementara dalam KBBI disebutkan bahwa etika ialah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

Jadi bisa disimpulkan bahwa etika merupakan ilmu yang menyangkut hal baik dan buruk, serta kumpulan nilai berkenaan dengan akhlak. Pelanggaran terhadap etika bisa diartikan bahwa si pelanggar mustahil tak mengetahui kalau hal itu buruk, bahkan bisa dikatakan tak berakhlak.

Dalam konteks inilah apa yang dilakukan ketua KPU sungguh memprihatinkan. Mustahil kalau ia tak memahami masalah etika. Pelanggaran terhadap etika memang tak berujung pada kurungan badan karena tidak ada kaitannya dengan persoalan pidana.

Karena itu setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan juga merupakan pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. (hukumonline.com 20 November 2019)

Harusnya, putusan DKPP pada 3 April 2023 menjadi perhatian serius Hasyim. Namun, ia justru terantuk pada lubang yang sama untuk kedua kali. Barangkali kalau pelecehan seksual tak terbukti, seperti yang terjadi pada Hasnaeni, Hasyim bisa lolos dari pemecatan.

Masalah pelanggaran etika yang berujung pemecatan ini seperti menorehkan arang di kening. Pasalnya, Hasyim sebelumnya dipercaya memberikan khotbah Idul Adha 1445 di Lapangan Pancasila Simpang Lima, Kota Semarang, Jawa Tengah (17/6).

“[Ibadah kurban] ini mengandung setidaknya dua makna. Pertama sifat kebinatangan yang ada di jiwa manusia harus dikorbankan dan disembelih; dan kedua jiwa dan perbuatan seseorang harus dilandasi dengan tauhid, iman, dan takwa,” tutur Hasyim di depan jamaah termasuk Presiden Joko Widodo yang hadir di sana. (kumparan.com 3/7)

Seorang yang sanggup memberi khotbah di mimbar seharusnya sosok yang mampu menjadi panutan. Kata dan perbuatan berjalan seiring untuk membuat orang mengikuti apa yang disampaikan. Publik hanya bisa terperangah ketika menyaksikan fakta bahwa sang pengkhotbah di Semarang tersebut adalah ketua KPU.

Hasyim memang memenuhi syarat untuk menjadi khotib bila mengacu pada penjelasan Arif Yosodipuro dalam Buku Pintar Khatib dan Khotbah Jumat seperti disitat detik.com (10/3/2023). Adapun syarat itu ialah memiliki akal sehat, suci dari hadas besar dan kecil, menutup aurat, laki-laki, dan memahami syarat dan rukun khotbah. Hanya saja dari segi adab, patutlah dipertanyakan kapasitasnya.

Keputusan Presiden

DKPP sudah menjatuhkan vonis dan meminta Presiden RI mencopot ketua KPU maksimal tujuh hari setelah putusan dibacakan. Bagi Presiden tak ada alasan untuk mempertahankan Hasyim sebagai ketua KPU karena landasan untuk mencopotnya sudah kuat. Bahkan Istana sudah menegaskan akan segera memproses keputusan presiden tentang hal tersebut.

Produk putusan yang sudah dilakukan KPU dengan Hasyim ada di dalamnya, memang tak akan berubah kendati ia dicopot. Hanya saja rasa miris muncul ketika produk-produk yang dihasilkan ada campur tangan sosok yang dianggap sebagai pelanggar etika. Putusan-putusan itu sah secara hukum, tapi (barangkali) cacat secara moral. (JB/02/GlG)