PERLU DITATA KEMBALI, ANGGARAN PENDIDIKAN DI BERBAGAI KEMENTERIAN

(Foto : Pixabay)

Jakarta, JaringBisnis. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf mendorong pemerintah untuk menata pengelolaan anggaran pendidikan agar tidak terjadi ketimpangan pembiayaan pendidikan di antara perguruan tinggi dan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan pendidikan.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR dengan sejumlah eks menteri di Kompleks Parlemen menyoroti mengenai optimalisasi anggaran pendidikan untuk peningkatan mutu, akses, dan relevansinya.

PRAKARSA (2024) menyoroti komitmen Mandatory Spending berdasarkan UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang mengharuskan alokasi 20% dari APBN untuk pendidikan. Namun, anggaran pendidikan tersebut tersebar di berbagai kementerian seperti Kementerian PUPR (0,51%), Kementerian Keuangan (0,49%), Kementerian Pertahanan (0,43%), Kementerian Perhubungan (0,36%), dan non-K/L sebesar 7,11%.

Bintang Aulia Luthfi, Peneliti The PRAKARSA menyampaikan bahwa anggaran pendidikan yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga juga dapat mengakibatkan tidak efisiennya penggunaan anggaran pendidikan.

“Efisiensi anggaran menjadi sangat penting, di mana seharusnya anggaran pendidikan lebih difokuskan pada pengembangan program pendidikan di Kementerian Pendidikan dan transfer ke daerah daripada tersebar di kementerian lain yang turut membuat program pendidikan dengan biaya yang besar,” kata Bintang.

Bukan hanya itu, pendidikan yang dikelola selain kementerian pendidikan justru banyak dilakukan oleh swasta. Indonesia memiliki jumlah siswa sekolah swasta yang besar. Menurut Badan Pusat Statistik (2023), sekitar 83% sekolah yang ada di bawah Kementerian Agama adalah sekolah swasta.

Berbeda dengan sekolah swasta pada umumnya, sekolah swasta di Indonesia tidak hanya menjadi sekolah mewah bagi kalangan kaya saja. Namun, banyak diantaranya yang merupakan sekolah swasta miskin dengan fasilitas yang sangat minim. Sekolah swasta juga ada yang dikelola oleh organisasi masyarakat (seperti organisasi keagamaan misalnya).

“Banyaknya jumlah sekolah swasta di bawah Kementerian Agama tidak semuanya merupakan sekolah mewah. Banyak sekolah swasta juga melayani kelas miskin. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa privatisasi pendidikan tidak mengabaikan kebutuhan pendidikan bagi masyarakat miskin dan tetap memberikan akses pendidikan yang berkualitas untuk semua lapisan masyarakat,” ujar Bintang.

Ketergantungan pada pendidikan swasta menimbulkan tantangan terkait pembiayaan, keterjangkauan, dan jaminan kualitas. Beban biaya pendidikan juga membebani rumah tangga dan siswa, terutama mereka yang berasal dari latar belakang yang kurang mampu.

“Pemerintah harus mengembangkan kriteria alokasi anggaran untuk proyek-proyek pendidikan dan memastikan investasi yang seimbang antara infrastruktur dan kebutuhan operasional untuk menghindari ketidaktransparanan dan ketidakefisienan dalam penggunaan anggaran. Selain itu, pemerintah dapat meningkatkan penerimaan pajak dengan menaikan Tarif Minimum Pajak Global menjadi 25% untuk ASEAN sehingga dapat mendorong alokasi anggaran sektor ini lebih tinggi,” tutup Bintang. (JB/02/GlG)