Bintuni, JaringBisnis. Pasar Sentra Bintuni sama seperti pasar-pasar lain di Indonesia. Selain sembako, kebutuhan sandang, papan, kebutuhan melaut, kebutuhan berburu, barber shop, tukang sol sepatu, bahkan outlet asal Bandung, hingga warung-warung makan ada di sini. Pasar Sentra juga menjadi lokasi pangkalan armada bus AMB atau Angkutan Masyarakat Bintuni dan armada Hylux Manokwari-Bintuni PP. Untuk masuk ke dalam area pasar, kendaraan roda empat membayar retribusi daerah sebesar Rp 2000, dan roda dua hanya Rp 1000.
Meski terlihat sederhana, jangan tanya perputaran uangnya. Ambil contoh warung ikan bakar Bugis. Warung ini memiliki tempat panggang besar di area depan, lalu sisi dalamnya hanya terdiri dari tiga meja panjang dengan kursi plastik. Di depan, ada Rudi (20) yang mempersiapkan ikan-ikan. Ikan yang sudah setengah matang ditumpuk atau dijajarkan dengan harga variatif mulai dari Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu.
Yang unik, ikan-ikan ini tidak semuanya utuh, ada yang sudah dipotong menjadi dua atau empat, tergantung besarnya ikan. Harga yang termahal adalah untuk ikan air tawar seperti mujair dan lele, harganya antara Rp 40 ribu. Ikan laut seperti tenggiri, bandeng, conggek, kakap merah dan putih, cakalang, harganya antara Rp 30-35 ribu, itupun ada yang satu ekor utuh. Bagi pecinta kuliner ikan laut, ini barangkali surganya surga. Tempat paling asyik dan bikin kangen.
Tugas Rudi adalah mempersiapkan ikan-ikan yang dibeli pembeli untuk dibakar matang. Ia hanya ‘mencelupkan’ ikan-ikan tersebut ke dalam air yang dicampur garam dan jeruk nipis.
“Hanya untuk menghilangkan bau,” katanya seraya tersenyum ramah. Setelah matang, di dalam ada Hj. Rosmiati dan asistennya, yang akan menyatukan itu dengan sepiring nasi, satu mangkok sayur bening (isi daun bayam, potongan labu, kacang panjang), dan sambal yang isinya cuma cabai, tomat, jeruk nipis, garam, tapi rasanya luar biasa nikmat. Ya, semua itu bisa diperolah dengan uang hanya Rp 30 ribu saja.
“Tiap hari, paling sedikit -karena lockdown ini- masih dapat Rp 5 juta kotor,” kata Rosmiati. Kaget? Kata Rosmiati Rp 5 juta itu sudah sangat minim karena jika tidak ada lockdown pendapatan minimal perhari mencapai Rp 8 juta. Di bulan Desember (menjelang natal) dan di bulan Januari, mereka bisa mendapatkan antara Rp 15-20 juta perhari. Gaji Rosmiati saat ini sama dengan standar gaji lulusan S1 yang bekerja di kantor di kota besar, bahkan gaji asistennya pun tak jauh dari itu. Bagaimana dengan Rudi?
“Pasti jauh lebih besar, karena dia bekerja di dekat api, panas,” kata Rosmiati seraya tertawa.
Saban hari mereka bekerja dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 10.00 di malam hari. Dan itu setidaknya menghabiskan 5 boks ikan di mana satu boks terdiri dari 100 ikat ikan yang jumlah perikatnya bervariasi sesuai dengan ukuran ikannya. Rosmiati sendiri cukup beruntung, sebagai pendatang dari Bugis ia merasa hidupnya lumayan cukup dan bahagia. Sang suami, yang katanya bekerja serabutan, ternyata pemilik kios daging sapi potong di dalam pasar. Dua anaknya, yang sulung bekerja di perusahaan tambang di Kalimantan dan yang bungsu adalah lulusan Petro Tekno dan kini bekerja di Proyek di Cilincing Jakarta di bawah perusahaan Superkrane.
“Di sini mudah untuk mencari nafkah dan hidup,” kata Rosmiati. (JB/02/GlG)