KONVERGENSI MEDIA, MEMAKAN BANYAK, MELAHIRKAN (JUGA) BANYAK

(Ilustrasi : Pixabay)

Jakarta, JaringBisnis. Bagi Miyamoto Musashi, dunianya seakan runtuh manakala ia terbaring nyaris mati di Padang Sekigahara, 21 Oktober 1600. Di sekelilingnya, mayat-mayat samurai Pasukan Barat, pendukung Klan Toyotami, bergelimpangan.

Tapi tanpa peristiwa ini, mungkin Miyamoto Musashi, diabadikan dalam buku oleh Eiji Yoshikawa, tak akan pernah muncul sebagai seorang ronin -samurai tak bertuan, yang memilih jalan pedang. Ia kemudian menjadi Musha Shugyo, samurai peziarah yang mengasah kemampuannya lewat duel. Sejatinya, jalan pedang yang dimaksud bukanlah pedang bermaterial logam -namun sekadar bokken -pedang kayu eik hitam, pemberian seorang janda yang merawatnya tatkala sekarat di padang kematian itu.

Di kekinian, anabel -analisis gembel- saya mengibaratkan Padang Sekigahara sebagai arena atau ladang konvergensi media. Ini adalah masa-masa pertarungan tatkala ragam media disatukan dengan perkembangan teknologi komputer dan telekomunikasi, dengan output berupa karya digital. Itu yang saya pahami. (Convergence Culture: Where Old and New Media Collide, Henry Jenkins, 2006).

Pertarungan ini memakan anak jaman: Media berbasis kertas. Pun, jika tak lincah bertarung maka platform media mainstream lainnya seperti televisi dilibas pula (oleh youtube, misalnya). Ini revolusi, new era. Pemersatunya hanya 3 C : Computing, Communication, Content. Sehingga sosial media, yang dalam anabel saya bukanlah pedang logam tajam melainkan pedang dari kayu eik hitam, bisa digjaya.

Sosial media bahkan melibas tanpa kenal ampun perusahaan-perusahaan media besar.

Perusahaan media besar dipaksa melakukan pola hybrid -menurut guru komunikasi saya di IISIP Jakarta, Pak Udi Rusadi. Genuinitas platform media yang mereka miliki, mau tak mau harus dikombinasikan dengan sosial media sebagai complementary.

Hanya itu?

Tidak. Hal ini berimbas pada demografis pembaca, flow of news, bahkan hingga pada kebijakan redaksional. Pun soal bisnisnya. Dan banyak hal lain. Tanpa itu, mereka merana di dunia maya lalu mati tanpa kawan -apalagi pengikut (baca: Subscriber, follower, dan seterusnya).

Kondisi inilah yang melahirkan para ronin, samurai tak bertuan. Atau bisa dibaca: Manusia yang jiwa, hati, pikirannya tetap menjadi seorang wartawan -namun tak memiliki media.

Beberapa ronin mencari jalan kesejatian melalui pedang eik hitam, persis seperti para wartawan yang melihat ilmu komunikasi tak melulu pergumulan di media mainstream.

Media mainstream penting.

Bahkan sangat penting.

Diakui.

Namun, pedang eik hitam (sosial media) adalah juga lahan diskursus baru penerapan ilmu-ilmu komunikasi -bahkan yang klasik sekalipun. Termasuk: Etika komunikasi (kode etik), hingga aplikasi dari dasar-dasar ilmu jurnalistik. Dan sebagainya.

Akhir kata, sosial media juga menjadi lahan penghidupan. Sehingga seorang ronin wajib lincah untuk menggawangi beberapa platform -selain selalu siap memproduksi konten, kapan saja, di mana saja, dengan presisi. Dan untuk beragam tipe klien. (JB/02/GlG)