Jakarta, JaringBisnis. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mendukung penuh upaya aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus dugaan korupsi. Namun demikian, IJTI mengingatkan penetapan status tersangka harus dilakukan seusai aturan yang berlaku.
Hal tersebut dikemukakan IJTI dalam pernyataan sikap menanggapi penetapan status tersangka kepada Direktur Pemberitaan Jak TV, TB dalam perkara dugaan korupsi, seperti tata niaga timah, impor gula, dan vonis lepas ekspor CPO. TB disangkakan tuduhan melakukan perintangan penyidikan (obstruction of justice).
Dalam pernyataan sikapnya IJTI mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di segala lini, termasuk langkah-langkah yang sedang dilakukan Kejaksaan Agung dalam mengungkap dugaan suap senilai lebih dari Rp478 juta yang disebut mengalir ke pihak terkait.
“Kami menilai hal ini memang seharusnya masuk dalam ranah pidana, dan aparat penegak hukum perlu menuntaskannya secara transparan dan akuntabel,” jelas IJTI.
Namun demikian, IJTI mempertanyakan penetapan tersangka terhadap insan pers jika dasar utamanya adalah aktivitas pemberitaan atau konten jurnalistik, khususnya yang dikategorikan sebagai berita negatif yang merintangi penyidikan.
IJTI menegaskan informasi yang bersifat kritis merupakan bagian dari kerja pers dan fungsi kontrol sosial yang dijamin oleh undang-undang.
“Jika yang menjadi dasar penetapan tersangka adalah produk pemberitaan, maka Kejaksaan Agung seharusnya terlebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Pers. Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penilaian atas suatu karya jurnalistik, termasuk potensi pelanggarannya, merupakan kewenangan Dewan Pers,” jelas IJTI.
Lebih jauh, IJTI mengkhawatirkan bahwa langkah ini dapat menjadi preseden berbahaya, yang bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjerat jurnalis atau media yang bersikap kritis terhadap kekuasaan.
“Ini akan menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kemerdekaan pers,” tegas IJTI.
IJTI juga mengingatkan bahwa sesuai UU Pers, setiap persoalan atau sengketa yang berkaitan dengan pemberitaan wajib lebih dulu diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan langsung menggunakan proses pidana.
“Pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan mencederai demokrasi,” jelas IJTI.
Dikatakan IJTI, jika penetapan tersangka terhadap insan pers semata-mata karena pemberitaan yang dianggap menghalangi penyidikan, IJTI menilai perlu ada penjelasan dan klarifikasi lebih lanjut dari Kejaksaan, serta koordinasi yang semestinya dengan Dewan Pers.
“Kami menyerukan kepada seluruh insan pers untuk tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik serta menjaga independensi dalam menjalankan tugas. Di saat yang sama, kami meminta aparat penegak hukum untuk menghormati kemerdekaan pers dan tidak menggunakan pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik,” tegas IJTI.
Tidak tepat
Sementara itu, mantan Ketua LBH Pers, Ade Wahyudin, menyatakan tindakan insan pers dengan menerima imbalan untuk membuat sebuah pemberitaan buruk atau baik, merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dan merugikan masyarakat. Tapi dengan menyimpulkan bahwa sebuah produk jurnalistik langsung dikategorikan sebagai OJ pun tidak tepat.
“Kejaksaan menetapkan tersangka karena salah satu buktinya adalah pemberitaan yang dianggap menghalangi proses penyidikan. Karena yang dipermasalahkan adalah diduga produk jurnalistik, maka yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah apakah konten yang disebarkan oleh TB merupakan sebuah produk jurnalistik atau bukan,” jelasnya.
Lebih jauh Ade mengatakan kejaksaan sebenarnya bisa saja menggunakan mekanisme Pernyataan, Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang dimiliki Dewan Pers untuk menilai sebuah produk jurnalistik.
Hal ini juga merupakan penerapan asas Lex Primaat atau Lex Pervill yang dimiliki oleh UU Pers. Dengan menggunakan asas ini, seharusnya mekanisme UU Pe rs harus dilakukan terlebih dahulu.
“Meskipun tidak ada ketentuan spesifik mengenai harus didahulukannya Dewan Pers, tapi di beberapa kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap, baik itu pidana maupun perdata, Hakim menganggap pemidanaan atau gugatan kepada pers dinyatakan prematur karena belum melalui mekanisme UU Pers,” katanya.
Yang dikhawatirkan dari kasus ini, jelas Ade, adalah preseden yang muncul dan memungkinkan masyarakat atau pers yang berbeda pandangan dianggap opini yang menghalangi proses penyidikan oleh penegak hukum. (JB/03/Wid)