INGIN LALU LINTAS JAKARTA MAKIN LANCAR? INI STRATEGI SENATOR FAHIRA IDRIS

Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris. (Foto: Dok JaringBisnis)

Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris menyambut baik yang menempatkan Jakarta berada di urutan ke-90 dengan tingkat kemacetan sebesar 43%, sekaligus mencatat penurunan angka 10% dibanding 2023.

“Penurunan ini tentu patut diapresiasi dan menjadi bukti bahwa sejumlah kebijakan transportasi umum yang dijalankan selama ini telah menunjukkan dampak signifikan. Saya berharap kebijakan peningkatan layanan dan perluasan jaringan transportasi umum, seperti Transjakarta, MRT, LRT, serta sistem Transjabodetabek yang kini menjangkau berbagai kota penyangga terus dikuatkan,” ujar Senator Fahira Idris dalam keterangannya kepada JaringBisnis, Minggu (6/7/2025).

Menurut Senator Jakarta ini, meskipun terjadi penurunan peringkat, bukan berarti tantangan kemacetan telah teratasi sepenuhnya karena data menunjukkan bahwa mayoritas pekerja komuter di Jakarta dan sekitarnya masih mengandalkan kendaraan pribadi. Artinya, preferensi publik terhadap transportasi umum masih rendah, sebagian karena persepsi tidak praktis dan kualitas layanan yang belum merata.

Lima rekomendasi

Agar indeks kemacetan Jakarta bisa terus menurun atau tidak kembali memburuk, Fahira Idris memaparkan lima rekomendasi atau strategi yang patut ditempuh. Pertama, perluasan dan penyempurnaan transportasi publik.

Jakarta, sambungnya, perlu meneladani kota seperti Singapura dan Stockholm, yang berhasil menurunkan kemacetan secara drastis lewat integrasi sistem, kepastian jadwal, dan kenyamanan. Di Stockholm, sistem jalan berbayar (ERP) terbukti menurunkan volume kendaraan hingga 20% dan meningkatkan penumpang angkutan umum hingga 15%.

“Konektivitas layanan transportasi publik di Jakarta yang telah mencapai 91 persen adalah fondasi yang kuat. Namun, perlu dibarengi dengan kecepatan perjalanan, ketersediaan armada, akses bagi disabilitas, dan kenyamanan halte serta stasiun. User interface dan user experience layanan publik juga perlu ditingkatkan agar lebih ramah pengguna,” tukas Fahira Idris.

Kedua, percepatan implementasi ERP dan reformasi parkir. ERP berpotensi mengurangi volume kendaraan, menghasilkan pendapatan tambahan, serta menurunkan emisi dan beban kesehatan masyarakat.

Selain itu, ERP perlu disertai manajemen parkir yang ketat dan tarif progresif untuk mendorong peralihan dari kendaraan pribadi.

Ketiga, edukasi publik dan reformasi budaya transportasi. Perubahan pola pikir warga bahwa transportasi publik bukan simbol ketidakmampuan, melainkan pilihan rasional dan berkelanjutan, harus terus dikampanyekan.

Kebijakan wajib naik angkutan umum bagi ASN setiap Rabu dan penyediaan layanan gratis bagi 15 kelompok tertentu merupakan langkah awal yang baik.

Keempat, pendekatan regional dengan melihat masalah kemacetan Jakarta tidak bisa dipisahkan dari wilayah aglomerasi. Pemerintah pusat dan daerah penyangga (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) harus berkolaborasi membangun sistem transportasi internal mereka sendiri agar tidak semua beban ditumpukan ke Jakarta.

Kelima, manajemen lalu lintas cerdas berbasis data. Penggunaan AI dalam pengaturan lalu lintas harus diperluas dan Jakarta dapat meniru Bangalore di India, di mana pengaturan durasi lampu lalu lintas berbasis AI mampu mengurangi kemacetan hingga 20% di lokasi uji coba. Sistem lalu lintas adaptif berbasis data real-time harus menjadi standar, bukan pengecualian.

“Penurunan indeks kemacetan ini adalah buah dari kebijakan transportasi yang berorientasi pada masa depan. Namun, pekerjaan belum selesai. Dengan konsistensi, pembenahan infrastruktur, edukasi publik, dan komitmen untuk mendorong mobilitas hijau, Jakarta dapat terus memperbaiki kualitas hidup warganya dan menjadi teladan bagi kota-kota besar lainnya di Indonesia,” tandas Fahira Idris. (JB/03/Jie/Wid)