Oleh: Gilang Gumilang
Master of Ceremony Olahraga, Dosen Komunikasi IISIP Jakarta, Marcomm GFNY Indonesia, Praktisi Komunikasi PT Gema Warta Sembilan dan Editior in Chief JaringBisnis.com
Jakarta, JaringBisnis. Kurang dari satu dekade terakhir, pergerakan lomba atau race balance bike di Indonesia mengalami kemajuan teramat pesat. Hampir setiap akhir pekan di setiap bulannya, race balance bike hadir dan diikuti setidaknya 160-an peserta bahkan bisa mencapai 400-an peserta dalam satu hari event.
Ada beberapa hal yang menciptakan situasi kondusif ini. Pertama, kejenuhan orangtua muda menyaksikan tumbuh kembang putra-putri mereka yang terkungkung dalam cengkeraman tablet, smartphone, dan sebagainya yang membuat anak-anak mereka malas bergerak. Kedua, keinginan orangtua muda memberikan kegiatan positif dengan bergerak, menanamkan nilai keberanian, mau tampil, berdisiplin, punya daya tahan, punya daya juang, dan siap kalah sebagai wujud sportivitas.
Sebagai salah satu orang yang terlibat dalam pergerakan ini, baik sebagai tim event organizer maupun sebagai master of ceremony, saya menemukan fakta lain yang menyentuh hati. Ya, tatkala tuntutan jaman dan ekonomi membuat banyak orangtua lupa pada tugas pokoknya -untuk hadir bagi anak-anaknya, para orangtua muda ini justru hadir di ragam lomba, menemani anaknya, menjadi saksi anak-anaknya terjatuh, menangis, tertawa, bahagia, dan naik ke podium sebagai bonus kemenangannya. Adakah hal hebat lain yang bisa mengalahkan bonding atau ikatan papa-mama dengan kekasih hatinya semacam ini? Keren!
Dan, bagaimanapun, hal ini yang kelak akan membekas di hati anak-anak mereka. Sebagai informasi, bahwa golden periode anak untuk mengenali, belajar, dan menerapkan falsafah hidup yang diyakininya benar, dibatasi hingga usia 15 tahun. Di saat-saat ini, nilai-nilai kehidupan yang diajarkan seorang ayah menjadi sangat penting terkait bagaimana cara menghadapi dunia dengan logika. Peran ibu juga penting untuk mengajarkan sikap kasih-sayang. Setidaknya itu ilmu parenting dan fathering yang pernah penulis dengar dari para ahli.
Selepas usia 15 tahun, biasanya anak telah memiliki jejaring pertemanan dan kehidupan sosial sendiri-sendiri. Sehingga nilai-nilai sosial baru akan beradu dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh orangtua, untuk kemudian menjadi konsepsi kebahagiaan mereka dan menjadi falsafah hidup yang mereka yakini kebenarannya. Menjadi bekal untuk jalan hidupnya kelak. Bayangkan, jika orangtua kehilangan golden periode ini, maka nilai-nilai sosial yang barangkali destruktif juga akan mempengaruhi hidup anak-anak mereka kelak.
Cinta Dalam Lingkaran Roda
Balance bike adalah sepeda biasa dengan tanpa pedal. Jadi anak-anak yang memakainya akan berlari -bukannya mengayuh. Hal ini akan membuat seluruh tubuh dan konsentrasi anak fokus pada pergerakannya: Tangan yang memegang handle bar, mata yang harus melihat ke depan untuk mengalkulasi cornering, pergerakan rival, mengantisipasi obstacle, hingga berada di jalur race lane yang tepat.
Untuk dapat melakukan akselerasi yang baik, maka anak-anak biasanya berlatih di komunitas yang disebut klub, akademi, dan sebagainya. Jika akademinya baik, tentu akan mendapatkan pelatihan untuk memperkuat modalitas atlet yang disesuaikan dengan tumbuh kembang dan usia sang anak. Jadi, hindari akademi yang mengajarkan modalitas atlet dengan mengadopsi program latihan orang dewasa atau yang sudah memakai pembebanan. Karena, dalam program olahraga modern di negara manapun, usia balita adalah usia bermain -bersama rekan-rekannya dan bersama orangtuanya. Unsur bermain, menjadi fardhu ‘ain -atau paling utama.
Lalu apa yang didapatkan seorang anak dari latihan-latihan ini? Terutama adalah agility atau kelincahan tubuh yang didapat dari balancing (keseimbangan tubuh) dan flexibility (kelenturan tubuh). Speed atau kecepatan akan didapatkan ketika sang anak bisa membuat sepeda dan tubuhnya menjadi kesatuan dan hal itu terjadi seiring perkembangan otot-otot motorik yang dilatih secara bertahap. Ingat, tidak boleh instan karena akan membuat otot anak menjadi bantet atau tidak berkembang sempurna karena dipaksakan.
Kemampuan teknik sendiri hadir dari ujicoba-ujicoba yang diperagakan secara langsung, misalnya cara start, cornering, mengangkat kaki dan berlari, posisi handle bar dalam ragam situasi -seperti berbelok misalnya, posisi tubuh saat sprint, kapan saat yang tepat ketika mengangkat kaki, derajat kerebahan tubuh di ragam cornering, dan sebagainya.
Untuk kemampuan explosive power (ledakan tenaga), strength endurance (daya tahan), harus diperhatikan sungguh-sungguh agar tidak membebani tumbuh kembang anak-anak. Biarkan ia belajar memahami tubuhnya terlebih dahulu, memberikan porsi latihan sesuai dengan perkembangan otot. Ya, memang tidak sederhana.
Mentalitas Teruji
Dengan segala kebaikan fisik, bonding orangtua, coach, sosial komunitas, terhadap anak, maka anak akan mendapatkan bonus yang luar biasa: Mentalitas yang baik. Rasa percaya dirinya meningkat karena ia mendapatkan kasih sayang utuh, dukungan penuh, di mana orang-orang terkasih ada bersama dirinya.
Secara perlahan, hal ini membuat keinginannya untuk berkompetisi menjadi besar, berani tampil, apalagi jika namanya diteriakkan dengan sangat khidmat oleh master of ceremony, maka di saat itu, ia belajar untuk berekspresi tanpa kehilangan fokus menjadi juara. Apakah juara adalah segala-galanya?
Tentu saja tidak. Karena juara adalah bonus. Justru yang terpenting adalah rangkaian proses demi proses yang telah dituliskan di atas. Itulah bekal bagi si kecil yang akan menjadi landasannya saat ia remaja, dewasa, hingga berkeluarga kelak. Ia akan mengenang papa mama-nya yang hebat dan lingkungan penuh dukungan yang ia rasakan saat kecil.
Lagipula, sangat tidak adil memberikan beban pada seorang anak kecil demi ambisi orangtua atau pelatih. Biarkan ia menikmati prosesnya dan tertawa, bahagia, menangis, berkompetisi, bersama rekan-rekannya yang lain. Karena, juara maupun tidak seorang anak, sesungguhnya yang juara adalah papa dan mamanya, yang memenuhi kebutuhan golden periode putra-putri tercintanya. Papa dan mama, kalian hebat! (JB/02/GlG)