BAKUL BUDAYA MERIAHKAN PEMBUKAAN PAMERAN ARSIP BAGONG KUSSUDIARDJA DI YOGYAKARTA

FOTO: DOK Bakul Budaya

Yogyakarta, JaringBisnis. Komunitas Bakul Budaya FIB UI meriahkan pembukaan pameran berbasis arsip “Enam Bulan dan Sekian Pertemuan” dengan membawakan Tari Yapong di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) di Desa Kembaran, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Rabu (9/10).

Pembukaan ditandai dengan pemotongan pita, dilanjutkan flashmob Tari Yapong oleh komunitas Bakul Budaya dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dan ditutup dengan prosesi pemotongan tumpeng oleh Butet Kartaredjasa, putera dari mendiang Bagong Kussudiardja, yang didampingi oleh Direktur Eksekutif Yayasan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja Jeannie Park, dan Ketua Umum Bakul Budaya Dewi Fajar Marhaeni.

Tari Yapong sendiri adalah sebuah pertunjukan seni drama tari yang dipentaskan untuk pertama kalinya pada acara peringatan hari ulang tahun Jakarta ke-450 di tahun 1977, saat itu Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta meminta kesediaan Bagong Kussudiardja untuk membuat sebuah pagelaran tari yang mengangkat tema perjuangan Pangeran Jayakarta.

Bagong Kussudiardja sendiri memiliki kedekatan tersendiri bagi Bakul Budaya karena Tari Yapong merupakan tarian pertama yang diajarkan kepada anggota komunitas seni yang berbasis di kampus FIB UI saat kelahiran komunitas ini pada 3 September 2022.

Pameran berbasis arsip “Enam Bulan dan Sekian Pertemuan” yang menampilkan ratusan arsip koleksi Bagong Kussudiardja dibuka bertepatan dengan peringatan hari kelahiran Pak Bagong yang ke-96 tahun, Rabu (9/1).

Pameran yang dikuratori oleh Alwan Brilian dan Reza Kutjh ini sekaligus menandai 46 tahun perjalanan PSBK yang didirikan oleh maestro tari Bagong Kussudiardja pada 3 Oktober 1978.

Padepokan seni pertama di Indonesia ini dibangun dengan tiga tujuan utama. Pertama, mengembangkan apresiasi seni dan budaya di kalangan generasi muda, khususnya di pedesaan.

Kedua, sebagai ruang bagi peminat seni yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan seni formal, terutama karena keterbatasan biaya.

Ketiga, turut mengembangkan kebudayaan dengan cara mendorong cantrik mentrik (murid laki-laki dan perempuan) untuk kembali ke daerah asalnya guna memajukan seni di daerah masing-masing. (JB/01/Ole)