Jakarta, JaringBisnis. Sikap puritan dalam makna harfiah adalah orang-orang yang bersikap keras, kaku, memegang erat dogma, yang identik pada kelompok pemurnian agama. Namun, dalam dunia kerja dan bisnis, sifat puritan merujuk pada orang-orang yang kaku menyelaraskan dinamika pekerjaan dan bisnis yang lentur dan fleksibel.
Sejatinya, jika merujuk pada institusi militer, kepolisian, kedinasan, mungkin sikap puritan dibutuhkan karena unsur hirarki dan sifat institusi yang mendukung. Meskipun tentu saja, institusi-institusi tersebut tetap melakukan penyesuaian terkait perubahan jaman atau bahkan perubahan kepemimpinan nasional -misalnya. Di Indonesia , terlihat dari pendekatan humanis yang dilakukan pihak kepolisian dan militer menyikapi geliat sosial di masyarakat.
Dalam dunia bisnis, sikap puritan hendaknya dihindari karena menghambat lahirnya inovasi-inovasi baru, kemungkinan adanya pemikiran out of the box, yang dihambat oleh kecenderungan pemimpin gila hormat, kolot, stagnan, ketidakmampuan membaca perubahan jaman, sikap egois, dan manajemen top down approach yang barangkali tidak up to date.
Salah satu contoh misalnya perubahan khalayak dalam proses menikmati berita di era digital. Jika dulu seorang wartawan dituntut bisa menulis saja, atau menjadi fotografer saja, kini dua pekerjaan tersebut mesti dikuasai oleh satu orang ditambah kemampuan membuat video. Tentu saja, karena ada perubahan dari media kertas ke dunia maya.
Masalahnya adalah jika dalam satu unit kerja, kita berhadapan dengan rekan kerja atau bahkan pimpinan yang puritan. Maka dipastikan, unit kerja di mana mereka berada akan berjalan lambat, gagap terhadap kejutan-kejutan baru di luar sana, malas melakukan perubahan karena merasa nyaman dengan keadaan sekarang, dan sialnya, mereka akan berlindung pada kekuasaan -jika mereka memilikinya.
Beberapa gejala yang tampak dari rekan kerja atau pimpinan semacam ini adalah:
- Jika dibantu malah menghina atau menyangkal. Sikap meng-klaim sangat identik dengan tipikal rekan kerja atau pimpinan yang puritan. Mereka merasa telah berbuat banyak pada organisasi yang sejatinya bisa diukur dari KPI (catatan: Yang diisi dan disupervisi secara jujur). Terkadang, meskipun sudah dibantu, justru mereka membandingkan dengan apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri yang sebenarnya adalah kumpulan dari bantuan banyak orang. Sikap pongah dan congkak terlihat dari bagaimana mereka memperlakukan rekan kerja atau bawahan.
- Didukung malah merasa tersaingi. Sejatinya persaingan yang sehat akan membuat kinerja setiap individu di perusahaan semakin baik. Dan hal ini akan mendekatkan pada pencapaian tujuan perusahaan. Persaingan sehat membuat semua orang berlomba untuk melakukan yang terbaik. Tapi kaum puritan akan melihatnya berbeda. Karena kemalasan mereka dalam berpikir, bekerja, dan berproses, situasi positif di lingkungan kerja disikapi dengan sikap nyinyir atau merasa dirinya disaingi. Umumnya, mereka akan mengatakan,”Jangan sok sibuk, yang kerja bukan cuma kamu.” Yang paling sial lagi, jika hal itu terjadi pada pimpinan. Mereka akan gelisah dan bukan mustahil akan meredam kinerja karyawan paling berbakat sekalipun karena merasa kedudukannya terancam. Padahal, di sisi lain, si karyawan sedang berusaha mati-matian mendukung pimpinannya yang puritan ini.
- Dikoreksi langsung emosi. Kaum puritan, khususnya pimpinan puritan di perusahaan umumnya punya sikap egois, merasa paling benar, merasa paling punya pengalaman panjang, dan mengulang-ulang kisah kesuksesan di masa lampau. Boleh jadi itu benar. Namun jaman berubah. Ciri mereka sangat khas, akan langsung emosi tatkala mendapatkan kritik, meskipun kritik itu dilakukan secara baik -misalnya dengan pembicaraan empat mata. Sikap kepemilikan luar biasa juga kerap membuat mereka kurang disiplin terhadap administrasi perusahaan.
- Dimutasi merasa terdzolimi. Karena kinerja mereka umumnya begitu-begitu saja, bahkan minus, perusahaan yang berorientasi pada perubahan dan kemajuan akan melakukan rotasi bahkan mutasi. Di sinilah biasanya drama terjadi, alih-alih melakukan instrospeksi diri, mereka justru akan menyalahkan keadaan -baik itu lingkungan kantor, orang-orang yang mengerjakan tugasnya secara baik, keluarga, sosial, atau apapun yang bisa jadi alasan kinerja mereka minus. Mereka merasa terdzolimi, melakukan playing victim yang sayangnya, akan terlupakan seiring waktu pada organisasi yang dinamis.
Lalu, apa yang harus kita lakukan pada kaum puritan ini?
Pertama, fokus pada tugas-tugas yang diberikan perusahaan meskipun terkadang mereka hadir menjadi penghambat.
Kedua, biasanya karena Anda memiliki kinerja bagus, menjadi pesaingnya, mereka akan mendekat untuk menjadi bagian dari kesuksesan dan bahkan boleh jadi mengklaimnya. Karena itu, batasi hubungan profesional Anda dengan mereka. Jika mereka mulai curhat, apalagi urusan pribadi, segera menghindar.
Ketiga, jangan sampai mental health Anda terganggu. Karena pastinya mereka akan melakukan sikap-sikap jahil yang kadang kekanak-kanakan. Misalnya, pura-pura lupa mencantumkan nama Anda. Mengklaim pekerjaan Anda, dan sebagainya. Karena itu, pastikan semua rekan kerja atau atasan mengetahui proyek yang Anda kerjakan dan lakukan tugas Anda tersebut dengan hati dan bersungguh-sungguh.
Keempat, biasanya mereka akan kasak-kusuk dan mencari kawan setipe. Biarkan saja. Ingat pemikiran ini, berpikir benar saja output-nya bisa keliru, apalagi jika sejak awal berpikir salah, output-nya pasti berantakan. Bayangkan jika ada aliansi yang dilandasi kesalahan dalam berpikir, waktu akan membuktikan kerusakan yang terjadi akibat ulah mereka. Umumnya, organisasi yang baik akan segera mencium ketidakberesan semacam ini.
Kelima, pilihlah rekan kerja yang memiliki semangat dan tujuan sama dengan Anda. Berorientasi pada kebaikan perusahaan.
Keenam, jika mereka dipertahankan terus dan perusahaan jalan di tempat, sebaiknya Anda menyampaikan keberatan Anda dan bersiaplah mencari tempat baru. Ada kemungkinan besar, perusahaan tidak akan berkembang dan mati secara perlahan. Tapi tentu saja, Anda tidak boleh ikut mati. (JB/02/GlG)