Jakarta, JaringBisnis. “Sebelum UUD 1945 diamandemen, kita punya Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Para mantan presiden dan wakil presiden idealnya berada di DPA,” kata pengamat politik Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting di Jakarta, Sabtu (4/4/2024). Hal ini menanggapi Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Dahnil Anzar Simanjuntak, yang mengatakan bahwa Prabowo ingin mendudukkan para mantan presiden dalam satu meja yang diberi nama presidential club.
Selamat menambahkan upaya mendudukkan para mantan presiden dalam satu meja presidencial club mestinya dikembalikan ke UUD 1945 (sebelum diamandemen). “Ya, sebaiknya mengacu kepada pemikiran para pendiri bangsa, bukan asal membuat semacam lembaga baru yang tidak ada pijakan sejarah konstitusinya,” kata Selamat.
Indonesia, lanjut Selamat, sebelum UUD 1945 diamandemen memiliki lembaga tertinggi negara, yakni MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Juga lembaga tinggi negara, yang terdiri dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), Lembaga Kepresidenan (Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia), MA (Mahkamah Agung), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
“Saat itu, pembubaran DPA karena dianggap tidak efisien. Ini amandemen yang keliru. Justru DPA inilah lembaga tinggi negara yang bisa menjadi tempat bagi para mantan presiden dan wakil presiden serta mantan kepala/ketua lembaga tinggi negara untuk memberikan saran kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas ini.
Ia juga mengatakan bahwa Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang ada saat ini, sebaiknya dikembalikan menjadi DPA seperti sebelum amandemen UUD 1945. “Buat apa Wantimpres jika isinya bukan para mantan presiden maupun wakil presiden? Saran seperti apa yang bisa mereka pertimbangkan kepada lembaga kepresidenan? Legitimasinya lemah jika bukan diisi oleh para mantan presiden dan wakil presiden,” kata Selamat. (JB/02/GLG)