LPSK Putuskan Perlindungan Korban Dugaan Pelecehan Seksual Rektor UP

Buku dan mawar layu

Jakarta – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memutuskan memberikan perlindungan kepada dua korban dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan Rektor Universitas Pancasila. Terlapor ETH dijerat dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Keputusan diterimanya permohonan para korban berdasarkan Keputusan Sidang Mahkamah Pimpinan (SMPL) LPSK pada Senin 25 Maret 2024. Kedua korban diputuskan mendapatkan perlindungan berupa Pemenuhan Hak Prosedural, Bantuan Psikologis, dan Fasilitas Penghitungan Restitusi.

Dalam menindaklanjuti permohonan perlindungan yang diajukan para korban pada 21 dan 27 Februari 2024, LPSK telah melakukan sejumlah langkah meliputi pendalaman informasi terkait sifat penting keterangan, berkoordinasi dengan penyidik Polda Metro Jaya, UPTD PPA Kota Depok, menganalisis tingkat ancaman dan situasi psikologis korban.

Wakil Ketua LPSK Susilaningtias menjelaskan, LPSK menilai adanya potensi ancaman dan intimidasi yang dialami korban sehingga dapat mempengaruhi pemberian keterangan/kesaksian dalam proses hukum. Selain itu, trauma dan kecemasan juga dialami korban.

“Salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam perkara TPKS adalah adanya penyalahgunaan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau hubungan keadaan yang memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang.” ungkap Susilaningtias.

Saat ini, meski Terlapor ETH sudah dinonaktifkan sebagai Rektor, namun masih berpotensi memiliki relasi kuasa. Terlapor masih menjadi Ketua Pelaksana Yayasan di Universitas Pancasila dan masih banyaknya pihak-pihak berpihak kepada Terlapor dan melakukan stigma negatif kepada korban di lingkungan kerjanya saat ini.

Terkait fasilitasi penghitungan restitusi, LPSK akan melakukan penghitungan setelah adanya penetapan tersangka oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, LPSK memutuskan memberikan layanan tambahan berupa perlindungan fisik jika dibutuhkan dan rehabilitasi psikososial berupa bantuan memperoleh pekerjaan jika dikemudian hari korban kehilangan pekerjaan akibat menjalani serangkaian proses pemeriksaan dalam peradilan pidana, pungkas Susilaningtias. (GlG)