KONSER ETHER RECURRENCE, MENGUBAH KALUT MENJADI PERGOLAKAN DAN UTOPIA

Berkumpulnya Gabriella Miranda, Jesslyn Juniata, Alexandra R, Dalila, dan Billy Aryo bukan sekadar untuk menghadirkan tontonan, melainkan untuk merajut kembali serpihan yang tercerai. (Foto: Joey Habibi/Dok JaringBisnis)

Jakarta, JaringBisnis. Konser Alur Bunyi yang diinisiasi Goethe-Institut Indonesien kembali hadir lewat “ETHER RECURRENCE”, karya kolaboratif dari lima musisi dengan praktik bebunyian yang berbeda. Gabriella Miranda, Jesslyn Juniata, Alexandra R, Dalila, dan Billy Aryo berkumpul bukan sekadar untuk menghadirkan tontonan, melainkan untuk merajut kembali serpihan yang tercerai.

Edisi ketiga Alur Bunyi 2025 ini menandai pertama kalinya penyelenggaraan berlangsung di luar GoetheHaus Jakarta. Kelima musisi akan tampil di Galeri Nasional Indonesia, Kamis (16/10/2025), pukul 19.30 WIB.

Koordinator Program Goethe-Institut Indonesien sekaligus Kurator Alur Bunyi, Elizabeth Soegiharto menuturkan, pihaknya mempertemukan kelima musisi dengan ciri khas masing-masing ini dalam satu kolaborasi yang mendorong mereka melampaui batas kenyamanan artistiknya, sejalan dengan semangat Alur Bunyi sebagai ruang eksperimentasi.

“Kelima musisi ini tidak berusaha menawarkan jawaban-jawaban besar lewat karya ini. Mereka menciptakan ruang tempat waktu melonggarkan genggaman atas paksaan, tempat musik melakukan yang paling hakiki: mengingatkan kita bahwa bahkan di tengah ketidakpastian, selalu ada keheningan,” ungkap Elizabeth Soegiharto, Senin (13/10/2025).

Tema kemanusiaan

Karya kolaboratif ini berangkat dari diskusi mengenai situasi yang tidak menentu akhir-akhir ini. Kelima musisi menemukan satu gagasan utama yang menginspirasi tema yang mereka angkat, yaitu kemanusiaan.

ETHER RECURRENCE diangkat sebagai respons terhadap situasi tersebut. Melalui pengalaman mendengar dan menyaksikan karya ini, para musisi ingin membuka ruang refleksi untuk melihat kembali proses pertumbuhan dan keterhubungan sebagai manusia.

Kata Recurrence terinspirasi dari gagasan tentang siklus—sesuatu yang terus tumbuh dan berputar. Sementara itu, Ether, yang berarti senyawa organik, merepresentasikan eksistensi kita sebagai makhluk hidup yang mengalami berbagai pengalaman berulang.

Kedua gagasan ini saling terhubung, menggambarkan bagaimana kita sebagai manusia terus belajar dan bertumbuh dalam menghadapi kehidupan. Itulah sebabnya ETHER RECURRENCE hadir: menjelmakan hiruk-pikuk menjadi ritme, mengubah kalut menjadi pergolakan dan utopia.

Bukan sekadar tontonan

Di tangan musisi dari latar belakang berbeda, konser ini bukanlah sekadar tontonan, melainkan perjumpaan: tumpahan geram, kejengkelan, sekaligus kegelisahan terhadap zaman. Namun, alih-alih membeku dalam amarah yang mentah, ETHER RECURRENCE membentuk kekalutan menjadi melodi yang jujur, sentimental, sekaligus berani.

Penonton akan diajak menapaki momen-momen yang mengejutkan; tiap belokan membuka kemungkinan baru yang belum pernah ditampilkan dalam tujuh tahun perjalanan program ini. Bunyi-bunyian itu menyalurkan keresahan, tetapi tidak terhenti di sana.

Yang hadir di panggung bukan hiasan, melainkan imajinasi tanpa batas. Musik yang menjelma renungan.

Pertunjukan ini mencerminkan siklus kehidupan yang terus berulang dan membentuk kita sebagai manusia. Siklus tersebut mereka wujudkan dalam empat fase utama: Persona, Mirror, Feel, dan Space.

Setiap fase merepresentasikan tahap refleksi dan pertumbuhan yang para musisi alami, baik sebagai individu maupun kolektif. Sebagai elemen pengikat, mereka juga mengutip puisi The Human Family karya Maya Angelou, yang memperkuat gagasan tentang kemanusiaan dan keterhubungan antarindividu.

Registrasi untuk ke konser dengan tempat terbatas ini dapat dilakukan melalui tautan www.goers.co/alurbunyi16okt tanpa dipungut biaya. (JB/03/Jie/Wid)