TINGGINYA CUKAI PERPARAH PEREDARAN ROKOK ILEGAL

Ilustrasi. (meta ai)

Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Rokok Ilegal yang dibentuk juga belum menyasar akar masalah karena terlalu fokus pada penindakan di bagian hilir tanpa mengatasi sumber permasalahan dari sisi hulu.

Hal tersebut ditegaskan ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus dalam keterangannya, Jumat (20/6/2026).

“Selama skema cukai masih menggunakan pola lama, Satgas akan sulit bekerja efektif. Kenaikan tarif yang tinggi tanpa disertai peta jalan (roadmap) yang jelas hanya memperparah situasi,” ujar Heri.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama mengungkap rencana pembentukan Satgas Pencegahan Rokok Ilegal sebagai upaya penguatan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal yang kian marak di masyarakat.

Heri melanjutkan bahwa selama ini upaya penegakan hukum hanya menyentuh distribusi produk ilegal, tanpa menyentuh aspek produksi dan pabrik-pabrik yang menjadi sumber rokok ilegal.

Naik signifikan

Sementara itu, harga rokok legal yang terus naik karena tarif cukai tinggi justru mendorong konsumen berpindah ke produk yang lebih murah seperti rokok ilegal, tingwe (lintingan dewe/sendiri), atau rokok dari kategori cukai rendah.

“Bayangkan saja, kalau rokok legal bisa seharga Rp40.000 per bungkus, sedangkan rokok ilegal hanya Rp7.000. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pilihan ini tentu sangat menggoda,” jelasnya.

Berdasarkan data dari Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), peredaran rokok ilegal kini sudah menyentuh angka 7%, naik signifikan dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 3%–4%.

“Hal ini merupakan sinyal kuat bahwa kebijakan cukai perlu ditinjau ulang secara menyeluruh,” ujar Heri.

Perlunya roadmap

Lebih jauh, Heri juga menyoroti ketiadaan roadmap jangka panjang dalam penetapan tarif cukai. Menurutnya, keputusan pemerintah yang terkesan mendadak tanpa arah kebijakan yang berkelanjutan memicu ketidakpastian di sektor industri. Dampaknya terasa luas, termasuk pada petani tembakau yang terdampak secara ekonomi.

Heri mendorong agar pemerintah tak hanya bergantung pada upaya represif melalui Satgas, tetapi juga menyusun kebijakan cukai jangka panjang yang komprehensif dan mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari penerimaan negara, keberlangsungan industri, perlindungan petani dan pekerja, hingga pengendalian rokok ilegal.

“Kalau ingin serius memberantas rokok ilegal, jangan hanya kejar-kejaran di lapangan. Penyebab utamanya—yakni ketidakpastian dan tingginya tarif cukai—juga harus dibereskan,” pungkas Heri. (JB/03/Wid)