Jakarta, JaringBisnis. Memasuki hari kesepuluh operasional penyelenggaraan ibadah haji 1446 H/2025 , Kementerian Agama (Kemenag) mencatat 61.404 jemaah haji reguler Indonesia telah diberangkatkan ke Tanah Suci.
Sementara itu 202.654 jemaah sudah mengantongi visa haji melalui sistem e-Hajj yang terintegrasi langsung dengan Pemerintah Arab Saudi.
Hal tersebut disampaikan Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri, M. Zein, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta Sabtu (10/5/2025).
Ia menyebutkan bahwa hingga Sabtu (10/5/2025) pagi, 158 kelompok terbang (kloter) jemaah haji Indonesia telah diterbangkan oleh tiga maskapai yakni Garuda Indonesia, Saudia Airlines, dan Lion Air.
Garuda Indonesia menerbangkan 82 kloter dengan 30.446 jemaah, Saudia Airlines 69 kloter dengan 28.028 jemaah, dan Lion Air 7 kloter dengan 2.930 jemaah, jelas Zein seperti dikutip kemenag.go.id.
Selain proses keberangkatan, Zein juga menyoroti layanan di asrama haji yang menjadi titik awal perjalanan jemaah. Di sana, jemaah menerima sejumlah layanan penting seperti pemeriksaan kesehatan, distribusi living cost sebesar 750 riyal Arab Saudi, dan penguatan manasik.
Jemaah haji khusus
Di sisi lain, Kemenag menegaskan komitmen untuk memperketat layanan ibadah bagi jemaah Haji Khusus tahun ini. Penekanan utama diberikan pada aspek perlindungan, mulai dari kesiapan rumah sakit rujukan hingga penyediaan asuransi yang bukan sekadar formalitas.
Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Nugraha Stiawan menyampaikan bahwa jemaah haji khusus kerap kali merupakan lansia atau mereka yang memerlukan perhatian khusus. Karena itu, pelayanan terhadap mereka harus didasari oleh kesiapan menyeluruh, bukan sekadar urusan teknis perjalanan.
Salah satu kewajiban Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang kami tekankan adalah kerja sama resmi dengan rumah sakit di Arab Saudi. Kami masih menemukan kasus jemaah bingung saat jatuh sakit karena tidak ada rujukan jelas, tidak ada dokter pendamping, dan asuransi belum bisa langsung digunakan, tegas Nugraha.
Ia menambahkan, setiap PIHK harus memiliki skenario penanganan darurat yang konkret dan dapat diakses setiap saat. Ini termasuk kejelasan rumah sakit rujukan, keberadaan dokter yang selalu siaga, dan sistem komunikasi darurat yang aktif.
Dalam upaya memperkuat perlindungan, Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus kini tengah merumuskan standar minimal asuransi yang wajib dimiliki setiap PIHK.
Asuransi bukan sekadar lampiran dokumen. Ini harus menjadi instrumen perlindungan nyata bagi jemaah selama berada di Tanah Suci, ujarnya. (JB/03/Wid)